Jumat, 06 September 2013

141. HAIDH: MENGKONSUMSI OBAT PENCEGAH HAIDH

Assalamual aikum
Terkait Darah Haidh.....
Bagaimana hukumnya mencegah ( darah haidh ) dengan cara suntikan, yang pada saat itu dia memasuki malam pertama, kuatir mengeluark an darah haidh? ....
Mohon..pen jlsn..

Sail: Lana Walakum

Wassalamua laikum

Boleh kang, namun harus dengan izin suami dan menurut keterangan dokter, dan jika dokter menyatakan hal ini membahayak an maka hukumnya haram. sebenarnya hukum ini hanya terhenti pada hukum mengkonsum si obat penunda haidnya kang, secara otomatis bila istri tidak dalam keadaan haid maka boleh digarap oleh suaminya, bahkan puasanya sah dan shalatnya juga sah

Kasysyaafu l Qanaa juz 1 hal. 218 Maktabah Syamilah (Fiqh Hanbaliy)

ﻭﻳﺠﻮﺯ ﺷﺮﺏ ﺩﻭﺍﺀ ﻣﺒﺎﺡ ﻟﻘﻄﻊ ﺍﻟﺤﻴﺾ ﻣﻊ ﺃﻣﻦ ﺍﻟﻀﺮﺭ ﻧﺼﺎ( ﻛﺎﻟﻌﺰﻝ ﻭ )ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ ﻻ ﻳﺒﺎﺡ ﺇﻻ ﺑﺈﺫﻥ ﺍﻟﺰﻭﺝ( ﺃﻱ: ﻷﻥ ﻟﻪ ﺣﻘﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﻮﻟﺪ )ﻭﻓﻌﻞ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﺫﻟﻚ ﺑﻬﺎ( ﺃﻱ: ﺇﺳﻘﺎﺅﻩ ﺇﻳﺎﻫﺎ ﺩﻭﺍﺀ ﻣﺒﺎﺣﺎ ﻳﻘﻄﻊ ﺍﻟﺤﻴﺾ )ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﻋﻠﻤﻬﺎ ﻳﺘﻮﺟﻪ ﺗﺤﺮﻳﻤﻪ ( ﻗﺎﻟﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺮﻭﻉ، ﻭﻗﻄﻊ ﺑﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻨﺘﻬﻰ ﻹﺳﻘﺎﻁ ﺣﻘﻬﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺴﻞ ﺍﻟﻤﻘﺼﻮﺩ

ﻭﻣﺜﻠﻪ( ﺃﻱ: ﻣﺜﻞ ﺷﺮﺑﻬﺎ ﺩﻭﺍﺀ ﻣﺒﺎﺣﺎ ﻟﻘﻄﻊ ﺍﻟﺤﻴﺾ )ﺷﺮﺑﺔ ﻛﺎﻓﻮﺭ( ﻗﺎﻝ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻨﺘﻬﻰ : ﻭﻟﻠﺮﺟﻞ ﺷﺮﺏ ﺩﻭﺍﺀ ﻣﺒﺎﺡ ﻳﻤﻨﻊ ﺍﻟﺠﻤﺎﻉ ﻗﺎﻟﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺎﺋﻖ )ﻭﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﻣﺎ ﻳﻘﻄﻊ ﺍﻟﺤﻤﻞ( ﺫﻛﺮﻩ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﻧﺼﺮ ﺍﻟﻠﻪ : ﻭﻇﺎﻫﺮ ﻣﺎ ﺳﺒﻖ ﺟﻮﺍﺯﻩ ﻛﺈﻟﻘﺎﺀ ﻧﻄﻔﺔ ﺑﻞ ﺃﻭﻟﻰ ﻭﻳﺤﺘﻤﻞ ﺍﻟﻤﻨﻊ ﻷﻥ ﻓﻴﻪ ﻗﻄﻊ ﺍﻟﻨﺴﻞ ﻭﻗﺪ ﻳﺘﻮﺟﻪ ﺟﻮﺍﺯﻩ ﻣﻤﺎ ﺳﺒﻖ ﻓﻲ ﺍﻟﻜﺎﻓﻮﺭ ﻓﺈﻥ ﺷﺮﺑﻪ ﻳﻘﻄﻊ ﺷﻬﻮﺓ ﺍﻟﺠﻤﺎﻉ ﻭﻗﺪ ﺗﻘﺪﻡ ﺃﻧﻪ ﻛﻘﻄﻊ ﺍﻟﺤﻴﺾ )ﻭﻳﺠﻮﺯ( ﻷﻧﺜﻰ )ﺷﺮﺏ ﺩﻭﺍﺀ( ﻣﺒﺎﺡ )ﻟﺤﺼﻮﻝ ﺍﻟﺤﻴﺾ، ﻻ ﻗﺮﺏ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻟﺘﻔﻄﺮﻩ( ﻛﺎﻟﺴﻔﺮ ﻟﻠﻔﻄﺮ

Fatwa Darul Ifta’ Al Mishriyah, Nomor. 1225
ﺣﻜﻢ ﺗﻨﺎﻭﻝ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﻋﻘﺎﻗﻴﺮ ﺗﻤﻨﻊ ﺍﻟﺪﻭﺭﺓ ﺍﻟﺸﻬﺮﻳﺔ ﻟﻴﺘﺴﻨﻰ ﻟﻬﺎ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ

ﻭﺭﺩ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻴﺪﺓ ﻑ. ﺭ . ﻫﻞ ﻳﺠﻮﺯ ﻟﻠﻤﺮﺃﺓ ﺗﻨﺎﻭﻝ ﺍﻟﻌﻘﺎﻗﻴﺮ ﻟﻤﻨﻊ ﻧﺰﻭﻝ ﺍﻟﺪﻭﺭﺓ ﺍﻟﺸﻬﺮﻳﺔ ﻟﻴﺘﺴﻨﻰ ﻟﻬﺎ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﻓﻲ ﺭﻣﻀﺎﻥ ؟
ﺍﻟﺠﻮﺍﺏ : ﺃﻣﺎﻧﺔ ﺍﻟﻔﺘﻮﻯ - ﺍﻟﻰ ﺃﻥ ﻗﺎﻝ - ﺃﻣﺎ ﺍﺳﺘﻌﻤﺎﻝ ﺍﻟﻌﻘﺎﻗﻴﺮ ﺍﻟﺘﻰ ﺗﺆﺧﺮ ﺍﻟﺤﻴﺾ ﺇﻟﻰ ﻣﺎ ﺑﻌﺪ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻭﺍﻟﺘﻰ ﺗﺘﻴﺢ ﻟﻠﻨﺴﺎﺀ ﺇﺗﻤﺎﻡ ﺍﻟﺸﻬﺮ ﻛﻠﻪ ﺑﻐﻴﺮ ﺍﻧﻘﻄﺎﻉ ﻓﻼ ﻣﺎﻧﻊ ﻣﻨﻪ ﺷﺮﻋﺎً، ﻭﻳﺼﺢ ﻣﻨﻬﺎ ﺍﻟﺼﻮﻡ، ﻭﻳﺠﻮﺯ ﻟﻬﺎ ﺍﻟﻠﺠﻮﺀ ﺇﻟﻰ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻮﺳﻴﻠﺔ ﺑﺸﺮﻁ ﺃﻥ ﻳﻘﺮﺭ ﺍﻷﻃﺒﺎﺀ ﺃﻥ ﺍﺳﺘﻌﻤﺎﻝ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺤﺒﻮﺏ ﻻ ﻳﺘﺮﺗﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﺎ ﻳﻀﺮ ﺑﺼﺤﺔ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﻋﺎﺟﻼً ﺃﻭ ﺁﺟﻼً، ﻓﺈﻥ ﺗﺮﺗﺐ ﻋﻠﻰ ﺍﺳﺘﻌﻤﺎﻟﻬﺎ ﺿﺮﺭ ﻓﻬﻰ ﺣﺮﺍﻡ ﺷﺮﻋﺎ, ﻷﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻘﺮﺭ ﺷﺮﻋﺎ ﺃﻧﻪ ﻻ ﺿﺮﺭ ﻭﻻ ﺿﺮﺍﺭ, ﻭﺣﻔﻆ ﺍﻟﺼﺤﺔ ﻣﻘﺼﺪ ﺿﺮﻭﺭﻱ ﻣﻦ ﻣﻘﺎﺻﺪ ﺍﻟﺸﺮﻳﻌﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ, ﻭﻣﻊ ﺃﻥ ﺍﺳﺘﺨﺪﺍﻡ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻮﺳﻴﻠﺔ ﺟﺎﺋﺰ ﺷﺮﻋﺎ ﺇﻻ ﺃﻥ ﻭﻗﻮﻑ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﺔ ﻣﻊ ﻣﺮﺍﺩ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻭﺧﻀﻮﻋﻬﺎ ﻟﻤﺎ ﻗﺪﺭﻩ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﻴﺾ ﻭﻭﺟﻮﺏ ﺍﻹﻓﻄﺎﺭ ﺃﺛﻨﺎﺀﻩ ﺃﺛﻮﺏ ﻟﻬﺎ ﻭﺃﻋﻈﻢ ﺃﺟﺮﺍ

Talkhishul Murod Fi Fatawi Ibn Ziyad, Hal : 247

ﻭَﻓﻰ ﻓَﺘَﺎﻭﻯ ﺍﻟﻘﻤﺎﻁ ﻣﺎﺣﺎﺻﻠﻪ ﺟﻮﺍﺯُ ﺍﺳﺘﻌﻤﺎﻝ ﺍﻟﺪﻭﺍﺀ ﻟﻤﻨﻊ ﺍﻟﺤﻴﺾ ﺍﻫـ

Qurrotul ‘Ain Bi Fatawi Ulama’il Haromain, Hal : 30

ﺇﺫﺍ ﺍﺳﺘﻌﻤﻠﺖ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﺩﻭﺍﺀ ﻟﺮﻓﻊ ﺩﻡ ﺍﻟﺤﻴﺾ ﺃﻭ ﺗﻘﻠﻴﻠﻪ ﻓﺈﻧﻪ ﻳﻜﺮﻩ ﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﻠﺰﻡ ﻋﻠﻴﻪ ﻗﻄﻊ ﺍﻟﻨﺴﻞ ﺃﻭ ﻗﻠﺘﻪ ﻭﺇﻻ ﺣﺮﻡ. ﻛﻤﺎ ﻓﻲ ﺣﺎﺷﻴﺔ ﺍﻟﺨﺮﺷﻲ

Mujawwib: Al Murtadha

Link Diskusi:
https://www.facebook.com/groups/230254130404633?view=permalink&id=484657551630955&refid=18

140. SARIQOH: HUKUM MENCURI HARTA ORANG KAFIR

Asslamualaikum
Muslmin muslmat, lau boleh tau adkah dlil yng mnerangkan bolehx mencuri ssuat pd orng non muslim/ kfir?

Sail : Qusyairi Yatim

Hukum mencuri harta orang kafir yang berada di Indonesia hukumnya tidak boleh (haram) karena mereka tidak termasuk kafir harbiy dan mereka mendapatkan perlindungan dari pemerintah. Dan boleh mencuri harta milik orang kafir harbiy.

ﻣﺠﻤﻮﻉ ﺝ 19 ﺹ452
ﻓﺼﻞ( ﺇﺫﺍ ﺩﺧﻞ ﺍﻟﺤﺮﺑﻰ ﺩﺍﺭ ﺍﻻﺳﻼﻡ ﺑﺄﻣﺎﻥ ﻓﻲ ﺗﺠﺎﺭﺓ ﺃﻭ ﺭﺳﺎﻟﺔ ﺛﺒﺖ ﻟﻪ ﺍﻻﻣﺎﻥ ﻓﻲ ﻧﻔﺴﻪ ﻭﻣﺎﻟﻪ ﻭﻳﻜﻮﻥ ﺣﻜﻤﻪ ﻓﻲ ﺿﻤﺎﻥ ﺍﻟﻨﻔﺲ، ﻭﺍﻟﻤﺎﻝ ﻭﻣﺎ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻀﻤﺎﻥ ﻭﺍﻟﺤﺪﻭﺩ ﺣﻜﻢ ﺍﻟﻤﻬﺎﺩﻥ ﻻﻧﻪ ﻣﺜﻠﻪ ﻓﻲ ﺍﻻﻣﺎﻥ ﻓﻜﺎﻥ ﻣﺜﻠﻪ ﻓﻴﻤﺎ ﺫﻛﺮﻧﺎﻩ، ﻭﺇﻥ ﻋﻘﺪ ﺍﻻﻣﺎﻥ ﺛﻢ ﻋﺎﺩ ﺇﻟﻰ ﺩﺍﺭ ﺍﻟﺤﺮﺏ ﻓﻲ ﺗﺠﺎﺭﺓ ﺃﻭ ﺭﺳﺎﻟﺔ ﻓﻬﻮ ﻋﻠﻰ ﺍﻻﻣﺎﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﻔﺲ ﻭﺍﻟﻤﺎﻝ ﻛﺎﻟﺬﻣﻲ ﺇﺫﺍ ﺧﺮﺝ ﺇﻟﻰ ﺩﺍﺭ ﺍﻟﺤﺮﺏ ﻓﻲ ﺗﺠﺎﺭﺓ ﺃﻭ ﺭﺳﺎﻟﺔ ﻭﺍﻥ ﺭﺟﻊ ﺇﻟﻰ ﺩﺍﺭ ﺍﻟﺤﺮﺏ ﺑﻨﻴﺔ ﺍﻟﻤﻘﺎﻡ ﻭﺗﺮﻙ ﻣﺎﻟﻪ ﻓﻲ ﺩﺍﺭ ﺍﻻﺳﻼﻡ ﺍﻧﺘﻘﺺ ﺍﻻﻣﺎﻥ ﻓﻲ ﻧﻔﺴﻪ ﻭﻟﻢ ﻳﻨﺘﻘﺾ ﻓﻲ ﻣﺎﻟﻪ، ﻓﺎﻥ ﻗﺘﻞ ﺃﻭ ﻣﺎﺕ ﺍﻧﺘﻘﻞ ﺍﻟﻤﺎﻝ ﺇﻟﻰ ﻭﺍﺭﺛﻪ ﻭﻫﻞ ﻳﻐﻨﻢ ﺃﻡ ﻻ، ﻓﻴﻪ ﻗﻮﻻﻥ. ﺍﻟﻰ ﺍﻥ ﻗﺎﻝ ﻓﺈﻥ ﺩﺧﻞ ﻣﺴﻠﻢ ﺩﺍﺭ ﺍﻟﺤﺮﺏ ﺑﺄﻣﺎﻥ ﻓﺴﺮﻕ ﻣﻨﻬﻢ ﻣﺎﻻ ﺃﻭ ﺍﻗﺘﺮﺽ ﻣﻨﻬﻢ ﻣﺎﻻ ﻭﻋﺎﺩ ﺇﻟﻰ ﺩﺍﺭ ﺍﻻﺳﻼﻡ ﺛﻢ ﺟﺎﺀ ﺻﺎﺣﺐ ﺍﻟﻤﺎﻝ ﺇﻟﻰ ﺩﺍﺭ ﺍﻻﺳﻼﻡ ﺑﺄﻣﺎﻥ ﻭﺟﺐ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺴﻠﻢ ﺭﺩ ﻣﺎ ﺳﺮﻕ ﺃﻭ ﺍﻗﺘﺮﺽ ﻻﻥ ﺍﻻﻣﺎﻥ ﻳﻮﺟﺐ ﺿﻤﺎﻥ ﺍﻟﻤﺎﻝ ﻓﻲ ﺍﻟﺠﺎﻧﺒﻴﻦ ﻓﻮﺟﺐ ﺭﺩﻩ

ﻓﺘﺎﻭﻯ ﺍﻟﺸﺒﻜﺔ ﺝ 22 ﺹ 214
ﻫﻞ ﻳﺠﻮﺯ ﺳﺮﻗﺔ ﻣﺎﻝ ﺍﻟﻜﻔﺎﺭ؟

ﺍﻟﻔﺘﻮﻯ ﺍﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ ﻭﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﻋﻠﻰ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﻋﻠﻰ ﺁﻟﻪ ﻭﺻﺤﺒﻪ ﺃﻣﺎ ﺑﻌﺪ : ﻓﺎﻋﻠﻢ ﺃﻥ ﺍﻟﺸﺮﻉ ﻗﺴﻢ ﺍﻟﻜﻔﺎﺭ ﺇﻟﻰ ﺻﻨﻔﻴﻦ : ﻣﺤﺎﺭﺑﻴﻦ ﻭﻣﺴﺎﻟﻤﻴﻦ ﺃﻭ ﻣﻌﺎﻫﺪﻳﻦ، ﻭﺍﻟﻤﺴﺎﻟﻤﻮﻥ ﺃﻭ ﺍﻟﻤﻌﺎﻫﺪﻭﻥ ﻗﺴﻤﺎﻥ : ﻗﺴﻢ ﻟﻪ ﻋﻬﺪ ﺩﺍﺋﻢ ﻭﻫﻢ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻳﻌﺮﻓﻮﻥ ﻓﻲ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺑﺄﻫﻞ ﺍﻟﺬﻣﺔ.. ﺃﻱ ﻟﻬﻢ ﺫﻣﺔ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ ﻭﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ. ﻭﻗﺴﻢ ﻟﻪ ﻋﻬﺪ ﻣﺆﻗﺖ ﻭﻫﻢ ﺍﻟﻤﺴﺘﺄﻣﻨﻮﻥ . ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﻤﺤﺎﺭﺑﻮﻥ ﻓﻬﻢ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺑﻴﻨﻬﻢ ﻭﺑﻴﻦ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺣﺮﺏ ﻗﺎﺋﻤﺔ ﺃﻭ ﻣﺘﻮﻗﻌﺔ، ﻭﻟﻴﺲ ﺑﻴﻨﻬﻢ ﻭﺑﻴﻦ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻋﻬﺪ ﻭﻻ ﺻﻠﺢ ﻭﻟﻜﻞ ﻗﺴﻢ ﺃﺣﻜﺎﻡ ﺗﺨﺼﻪ. ﻓﺄﻣﺎ ﺍﻟﻤﺴﺎﻟﻤﻮﻥ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺬﻣﺔ ﻓﺎﻟﻘﺎﻋﺪﺓ ﺍﻟﺘﻲ ﺗﺤﻜﻢ ﺗﻌﺎﻣﻠﻨﺎ ﻣﻌﻬﻢ ﻣﻦ ﺣﻴﺚ ﺍﻟﺠﻤﻠﺔ ﻫﻲ ﺃﻥ ﻟﻬﻢ ﻣﺎ ﻟﻨﺎ ﻭﻋﻠﻴﻬﻢ ﻣﺎ ﻋﻠﻴﻨﺎ، ﺇﻻ ﺃﺷﻴﺎﺀ ﻣﺴﺘﺜﻨﺎﺓ ﺗﻨﻈﺮ ﻓﻲ ﻣﻮﺍﺿﻌﻬﺎ. ﻭﺑﺨﺼﻮﺹ ﺍﻟﺴﺆﺍﻝ ﻫﻞ ﻳﺠﻮﺯ ﺳﺮﻗﺔ ﻣﺎﻝ ﺍﻟﻜﻔﺎﺭ؟ ﻓﻬﺬﺍ ﺍﻟﻘﺴﻢ ﻣﻦ ﺍﻟﻜﻔﺎﺭ ﻻ ﺧﻼﻑ ﺑﻴﻦ ﻋﻠﻤﺎﺀ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺃﻥ ﺳﺮﻗﺔ ﺃﻣﻮﺍﻟﻬﻢ ﺣﺮﺍﻡ، ﻭﺃﻥ ﺍﻟﻤﺴﻠﻢ ﺇﺫﺍ ﺳﺮﻕ ﻣﻦ ﺍﻟﺬﻣﻲ ﻓﺈﻥ ﻳﺪﻩ ﺗﻘﻄﻊ ﻣﺘﻰ ﺗﺤﻘﻘﺖ ﺷﺮﻭﻁ ﺍﻟﻘﻄﻊ ﺍﻟﻤﻌﺮﻭﻓﺔ، ﻧﻘﻞ ﻫﺬﺍ ﺍﻻﺗﻔﺎﻕ ﺍﺑﻦ ﻗﺪﺍﻣﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻐﻨﻲ ﺍﻟﻰ ﺍﻥ ﻗﺎﻝ : ﻭﻛﺬﻟﻚ ﺇﺫﺍ ﺩﺧﻞ ﺍﻟﺤﺮﺑﻲ ﺩﺍﺭ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺑﺄﻣﺎﻥ ﺣﺮﻡ ﺍﻟﺘﻌﺮﺽ ﻟﻤﺎﻟﻪ، ﻭﻗﺎﻟﺖ ﺍﻟﻤﺎﻟﻜﻴﺔ: ﻳﻘﻄﻊ ﻳﺪ ﺍﻟﻤﺴﻠﻢ ﺇﺫﺍ ﺳﺮﻕ ﻣﺎﻝ ﺍﻟﺤﺮﺑﻲ ﺍﻟﺬﻱ ﺩﺧﻞ ﺩﺍﺭ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺑﺄﻣﺎﻥ، ﻓﻴﻘﻮﻝ ﻓﻲ ﺣﺎﺷﻴﺔ ﺍﻟﺼﺎﻭﻱ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺸﺮﺡ ﺍﻟﺼﻐﻴﺮ: ﺍﻟﺴﺮﻗﺔ ﺃﺧﺬ ﻣﻜﻠﻒ ﻧﺼﺎﺑﺎً ﻓﺄﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﻣﺎﻝ ﻣﺤﺘﺮﻡ ﻟﻐﻴﺮﻩ ... ﻭﻳﺪﺧﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺤﺘﺮﻡ: ﻣﺎﻝ ﺍﻟﺤﺮﺑﻲ ﺍﻟﺬﻱ ﺩﺧﻞ ﺑﺄﻣﺎﻥ ﻓﻴﻘﻄﻊ ﺳﺎﺭﻗﻪ

Mujawwib: Al Murtadha

link diskusi:
https://www.facebook.com/groups/230254130404633?view=permalink&id=482811085148935

139. TUGAS MALAIKAT JIBRIL SEPENINGGAL NABI MUHAMMAD SAW.

Assalamu alaikum

Para ustadz dan ustadzah saya ada pertanyaan Begini kita kan tahu kalau malaikat jibril tugasnya menyampaik an wahyu Allah kepada nabi Muhammad nah, sekarang sudah tidak ada nabi Muhammad lagi, terus malaikat jibril apa tugasnya?

Sail : Hevni Ajca Deh

Wa Alaikum Salam. Wr. Wb.

Malaikat Jibril setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW turun ke Bumi untuk menghadiri orang yang sedang sakaratul maut dalam keadaan berwudhu'.

ﻧﻮﺭ ﺍﻟﻈﻼﻡ )ﺹ 16 )
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺠﻼﻝ ﺍﻟﺴﻴﻮﻃﻲ ﻭﺇﻧﻪ ﻳﺤﻀﺮ ﻣﻮﺕ ﻣﻦ ﻳﻤﻮﺕ ﻋﻠﻰ ﻭﺿﻮﺀ ﻭﻣﺎ ﺍﺷﺘﻬﺮ ﻣﻦ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﻨﺰﻝ ﺍﻷﺭﺽ ﺑﻌﺪ ﻣﻮﺕ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻻ ﺃﺻﻞ ﻟﻪ ﺇﻻ ﺃﻥ ﻳﻘﺎﻝ ﻻ ﻳﻨﺰﻝ ﺑﻮﺣﻲ ﺫﻛﺮﻩ ﺍﻟﻘﻠﻴﻮﺑﻲ

Imam Jalaluddin Asssuyuthi berkata: dan sesungguhn ya Jibril menghadiri kematian orang yang mati dengan berwudhu. Adapun apa yang masyhur bahwa Jibril tidak turun lagi setelah wafatnya Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam itu tidak ada asalnya, kecuali yang dikehendaki bahwa Jibril tidak turun dengan wahyu. Demikian dituturkan oleh Imam Qalyubi.

Mujawwib: Muqit Ismunoer

Senin, 02 September 2013

138. AL QUR'AN ITU KALAMULLAH ATAUKAH MAHLUK ?

Pertanyaan :

Assalamualaikum.wr.wb. ustadz ane mau tanya nih... Bagaimana mengenai tentang KALAMULLAH, Katanya sih bukan ucapan atau bukan huruf. Yang ane tanyakan bagaimana statusnya kalau seperti AL QUR'AN kok berhuruf?. Otomatis kalo berhuruf pasti bersuara. terimakasih. wassalam.

Jawaban :

wa alaikum salam wr wb...
Mesti ada peninjauan dulu tentang kalamullah kang,,,, sifat dari kalamullah itu ada dua tinjauan:
 1. Kalam al Qadim,
 2. Kalam at Tanzil.
 Kalam al Qadim adalah kalam Allah yg terdahulu dan tidak ada yang mendahuluinya dan tidak berakhir sampai kapanpun. kalam ini hanya digunakan oleh Allah sendiri dan tidak ada satupun makhluk yang mengetahuinya, ini tidak berupa benda, huruf dan suara.
 Sedangkan Kalam at Tanzil adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Rasul-rasul yang dipilihNya dengan perantara Malaikat Jibril agar disampaikan kepada seluruh umat manusia. Ini berupa benda, huruf dan suara karena disesuaikan dengan bahasa mahluk agar perintah dan larangan Allah bisa dipatuhi dengan sebaik-baiknya. Kalam at Tanzil ini adalah kitab samawi dan shuhuf-shuhuf yang telah diterima oleh para Rasul, dan kitab samawi yang masih terpelihara sampai saat ini adalah al Qur'an.
 Meski al Qur'an berupa benda namun untuk menjaga etika terhadap Kalamullah dan segala sumber aturan hidup maka tidak diperbolehkan menyebut al Qur'an sebagai mahluk.
Artinya al-Quran adalah kalamullah, dan al-Quran yang yang dibaca, yang ditetapkan di dalam mushaf-mushaf, yang tertulis, yang ada di dalam dada adalah kalam Allah bukan makhluk.
 Ada dua pengertian dalam kalam, Imam Bukhari menuturkan yaitu :
1. al-Quran yang dibaca, yang ditetapkan di dalam mushaf-mushaf, yang tertulis, yang ada di dalam dada, jika dinisbatkan kepada kalam Allah adalah bukanlah makhluk.
2. al-Quran yang ditulis dan dibaca dengan suara dan huruf oleh manusia, maka imam Bukhari menjwab : “perbuatan hamba adalah makhluk (أفعال العباد مخلوقة).

Manhaj imam Bukhari inilah yang diikuti oleh para ulama asy'ariyah bahwa : definsi al-Quran terbagi menjadi dua Yakni Jika yang dimaksudkan adalah kalam Allah, maka dia adalah sifat kalam yang qadim dan azali yang suci dari alat, suara dan huruf, sedangkan jika yang dimaksudkan adalah kalimat yang terlafadzkan oleh lisan manusia dan terbukukan dalam kertas-kertas, maka dia adalah kalimat-kalimat berhuruf dan bersuara yang baru dan mengibaratkan kepada kalam Allah yang qadim dan azali tersebut.Penjelasan ini sesuai dengan penjelasan para ulama besar Ahlus sunnah.

Imam Abu Hanifah (150 H) Mengatakan :

وصفاته في الأزل غير محدَثة ولا مخلوقة فمن
قال إنها مخلوقة أو محدَثة أو وقف أو شكّ فهو كافر بالله تعالى والقرءان أي كلام الله تعالى في المصاحف مكتوب وفي القلوب محفوظ وعلى الألسن مقروء وعلى النبي عليه الصلاة والسلام منزل ولفظنا بالقرءان مخلوق وكتابتنا له مخلوقة وقراءتنا مخلوقة والقرءان غير مخلوق

Sifat-sifat Allah di Azali tidaklah baru dan bukan makhluk (tercipta), barangsiapa yang mengatakan itu makhluk atau baru, atau dia diam (tidak berkomentar), atau dia ragu maka dia dihukumi kafir kepada Allah. Al-Quran yakni Kalamullah tertulis di mushaf-mushaf, terjaga dalam hati, terbaca dalam lisan dan diturunkan kepada Nabi Saw. Dan lafadz kami dengan al-Quran adalah makhluk, penulisan kami kepada Al-Quran adalah makhluk, bacaan kami dengannya adalah makhluk sedangkan al-Quran bukanlah makhluk “.

Kemudian imam Abu Hanifah melanjutkan :

ونحن نتكلم بالآلات والحروف والله تعالى يتكلم بلا ءالة ولا حروف والحروف مخلوقة وكلام الله تعالى غير مخلوق

Kami berbicara dengan alat dan huruf sedangkan Allah Ta’ala berbicara tanpa alat dan huruf, sedangkan huruf itu makhluk dan kalamullah bukanlah makhluk “. (Disebutkan dalam kitab al Fiqh al Akbar,al Washiyyah, al Alim wal Muta'allim dan lainnya).  

Al Hafidz Azd Dzahabi mengomentari kalam imam Bukhari berkaitan lafadz Quran berikut :

المسألة هي أن اللفظ مخلوق، سئل عنها البخاري، فوقف واحتج بأن أفعالنا مخلوقة واستدل لذلك ففهم منه الذهلي أنه يوجه مسألة اللفظ، فتكلم فيه. وأخذه بلازم قوله هو وغيره

Masalah (imam Bukhari) tersebut adalah sesungguhnya lafadz itu adalah makhluk. Imam Bukhari pernah ditanya tentang ini, lalu beliau tidak berkomentar malah beliau berhujjah : “ Sesungguhnya semua perbuatan kita adalah makhluk “, beliau menjadikan itu sebagai dalil dan ini dipahami oleh imam Adzdzahli bahwasanya imam Bukhari bermaksud masalah lafadz lalu beliau berbicara dengan itu, dan beliau juga selainnya senantiasa meneguhkan ucapannya itu “. (Siyar A'lam an Nubala : 12/457).

Al Hafidz Azd Dzahabi menukil kalam imam Ahmad bin Hanbal sebagai berikut :

من قال: لفظي بالقرآن مخلوق، يريد به القرآن، فهو جهمي

Barangsiapa yang mengatakan lafadz dengan al-Quran adalah makhluk, yang dimaksud adalah al-Quran, maka dia adalah seorang jahmi (pengikut Shafwan bin Jahm, pemuka aliran Jabbariyah)“. (Siyar A'lam an Nubala : 11 / 511).

Al Imam al Isfaraini (w 418 H) mengatakan :

وأن تعلم أن كلام الله تعالى ليسى بحرف ولا صوت لأن الحرف والصوت يتضمنان جواز التقدم والتأخر، وذلك مستحيل على القديم سبحانه

Dan hendaknya kamu mengetahui bahwa sesungguhnya kalam Allah itu tidaklah dengan huruf dan suara karena huruf dan suara mengandung bolehnya pendahuluan dan pengakhiran, yang demikian itu mustahil bagi Allah yang Maha Qadim “. (at Tabshir fiddin : 102).

Mula Ali al Qari al Hanafi (w 1014 H) :

ومبتدعة الحنابلة قالوا: كلامه حروف وأصوات تقوم بذاته وهو قديم، وبالغ بعضهم جهلاً حتى قال: الجلد والقرطاس قديمان فضلاً عن الصحف، وهذا قول باطل بالضرورة ومكابرة للحس للإحساس بتقدم الباء على السين في بسم الله ونحوه

Para ahli bid’ah dari kalangan Hanabilah berkata : “ Kalam Allah berupa huruf dan suara yang berdiri dalam Dzat-Nya dan itu qadim. Bahkan ada yang sampai berlebihan kebodohan mereka dengan berkata : “ Jilid dan Kertas itu bersifat qadim apalagi mushaf “, ini adalah ucapan bathil secara pasti dan sifat mukabarah (sombong)…” (Syarh al Fiqh al Akbar : 29-35).

Wallahu a'lam bish shawaab..

137. HAIDH: HUKUM DARAH YANG PUTUS-PUTUS

Assalamualaikum.
mo nany misalkan seorang perempuan haid slama 5hari n sudah bersuci kemudian berjimak dg suaminya n keesokan hariny si perempuan keluar darah lagi.bagaimana jimak tsbt?
Ria Arya ASyari

Jawaban:
Wa Alaikum Salam. Wr. Wb.
Jika sudah ada tanda-tanda suci dan sudah adus/mandi, maka jima'nya tidak berdosa.
Dalam masalah ini (tidak keluarnya darah disela-sela haid) terdapat khilaf dikalangan ulama' sebagaimana berikut:
1. Menurut Qoul Talfiq/Laqth (yaitu pendapat Imam Malik, Ahmad dan sebagian pendapat Syafi'iyyah) dihukumi suci.
2. Menurut Qoul Sahab (yaitu pendapat Imam Abu Hanifah dan Qoul Shohih dari Madzhab Imam Syafi'ie) dihukumi haid.
Namun dari kedua pendapat tersebut sepakat apabila dalam keadaan tidak keluar darah hendaknya seorang perempuan melakukan hal2 yg wajib kepada orang perempuan yg sedang suci, seperti sholat dsb, karena masih belum diketahui apakah akan berlanjut keluar darah atau akan berhenti, bahkan mereka berpendapat: Wajib Adus/mandi, melaksanakan sholat, dan puasa. Dan diperbolehkan untuk membaca al-Qur'an, menyentuh al-Qur'an dsb. Dan bagi suaminya boleh menjima'nya. tetapi apabila keluar darah kembali, jika mengikuti pendapat Qoul Talfiq/laqth, maka sholat, puasa dsb dihukumi sah. Apabila mengikuti pendapat Qoul sahab, maka hukum sholat, puasa dsb hukumnya tidak sah, sehingga wajib mengqodho' puasa wajib, i'tikaf wajib, tawaf wajib...
Dan pendapat Rojih (yg unggul) di kalangan Madzhab Syafi'ie adalah pendapat Qoul Sahab.


المجموع شرح المهذب
ﻗﺎﻝ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ : ﺇﺫﺍ ﺍﻧﻘﻄﻊ ﺩﻣﻬﺎ ﻓﺮﺃﺕ ﻳﻮﻣﺎ ﻭﻟﻴﻠﺔ ﺩﻣﺎ ، ﻭﻳﻮﻣﺎ ﻭﻟﻴﻠﺔ ﻧﻘﺎﺀ ﺃﻭ ﻳﻮﻣﻴﻦ ﻭﻳﻮﻣﻴﻦ ﻓﺄﻛﺜﺮ ، ﻓﻠﻬﺎ ﺣﺎﻻﻥ : ﺇﺣﺪﺍﻫﻤﺎ : ﻳﻨﻘﻄﻊ ﺩﻣﻬﺎ ﻭﻻ ﻳﺘﺠﺎﻭﺯ ﺧﻤﺴﺔ ﻋﺸﺮ . ﻭﺍﻟﺜﺎﻧﻲ ﻳﺠﺎﻭﺯﻫﺎ
ﺍﻟﺤﺎﻝ ﺍﻷﻭﻝ ( ﺇﺫﺍ ﻟﻢ ﻳﺠﺎﻭﺯ ﻓﻔﻴﻪ ﻗﻮﻻﻥ ﻣﺸﻬﻮﺭﺍﻥ : ) ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ ( ﺃﻥ ﺃﻳﺎﻡ ﺍﻟﺪﻡ ﺣﻴﺾ ﻭﺃﻳﺎﻡ ﺍﻟﻨﻘﺎﺀ ﻃﻬﺮ ، ﻭﻳﺴﻤﻰ ﻗﻮﻝ ﺍﻟﺘﻠﻔﻴﻖ ﻭﻗﻮﻝ ﺍﻟﻠﻘﻂ
ﻭﺍﻟﺜﺎﻧﻲ ( ﺃﻥ ﺃﻳﺎﻡ ﺍﻟﺪﻡ ﻭﺃﻳﺎﻡ ﺍﻟﻨﻘﺎﺀ ﻛﻼﻫﻤﺎ ﺣﻴﺾ ، ﻭﻳﺴﻤﻰ ﻗﻮﻝ ﺍﻟﺴﺤﺐ ﻭﻗﻮﻝ ﺗﺮﻙ ﺍﻟﺘﻠﻔﻴﻖ ، ﻭﺍﺧﺘﻠﻔﻮﺍ ﻓﻲ ﺍﻷﺻﺢ ﻣﻨﻬﻤﺎ ﻓﺼﺤﺢ ﻗﻮﻝ ﺍﻟﺘﻠﻔﻴﻖ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﺃﺑﻮ ﺣﺎﻣﺪ ] ﺹ: 518 [ ﻭﺍﻟﺒﻨﺪﻧﻴﺠﻲ ﻭﺍﻟﻤﺤﺎﻣﻠﻲ ﻭﺳﻠﻴﻢ ﺍﻟﺮﺍﺯﻱ ﻭﺍﻟﺠﺮﺟﺎﻧﻲ ﻭﺍﻟﺸﻴﺦ ﻧﺼﺮ ﻭﺍﻟﺮﻭﻳﺎﻧﻲ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﻠﻴﺔ ﻭﺻﺎﺣﺐ ﺍﻟﺒﻴﺎﻥ ، ﻭﻫﻮ ﺍﺧﺘﻴﺎﺭ ﺃﺑﻲ ﺇﺳﺤﺎﻕ ﺍﻟﻤﺮﻭﺯﻱ ، ﻭﺻﺤﺢ ﺍﻷﻛﺜﺮﻭﻥ ﻗﻮﻝ ﺍﻟﺴﺤﺐ ، ﻓﻤﻤﻦ ﺻﺤﺤﻪ ﺍﻟﻘﻀﺎﺓ ﺍﻟﺜﻼﺛﺔ ﺃﺑﻮ ﺣﺎﻣﺪ ﻓﻲ ﺟﺎﻣﻌﻪ ﻭﺃﺑﻮ ﺍﻟﻄﻴﺐ ﻭﺣﺴﻴﻦ ﻓﻲ ﺗﻌﻠﻴﻘﻬﻤﺎ ﻭﺃﺑﻮ ﻋﻠﻲ ﺍﻟﺴﻨﺠﻲ ﻓﻲ ﺷﺮﺡ ﺍﻟﺘﻠﺨﻴﺺ ﻭﺍﻟﺴﺮﺧﺴﻲ ﻓﻲ ﺍﻷﻣﺎﻟﻲ ﻭﺍﻟﻐﺰﺍﻟﻲ ﻓﻲ ﺍﻟﺨﻼﺻﺔ ﻭﺍﻟﻤﺘﻮﻟﻲ ﻭﺍﻟﺒﻐﻮﻱ ﻭﺍﻟﺮﻭﻳﺎﻧﻲ ﻓﻲ ﺍﻟﺒﺤﺮ ﻭﺍﻟﺮﺍﻓﻌﻲ ﻭﺁﺧﺮﻭﻥ ﻭﻫﻮ ﺍﺧﺘﻴﺎﺭ ﺍﺑﻦ ﺳﺮﻳﺞ . ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺮﺍﻓﻌﻲ : ﻫﻮ ﺍﻷﺻﺢ ﻋﻨﺪ ﻣﻌﻈﻢ ﺍﻷﺻﺤﺎﺏ . ﻭﻗﺎﻝ ﺻﺎﺣﺐ ﺍﻟﺤﺎﻭﻱ ﺍﻟﺬﻱ ﺻﺮﺡ ﺑﻪ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻓﻲ ﻛﻞ ﻛﺘﺒﻪ ﺃﻥ ﺍﻟﺠﻤﻴﻊ ﺣﻴﺾ ، ﻭﻗﺎﻝ ﻓﻲ ﻣﻨﺎﻇﺮﺓ ﺟﺮﺕ ﺑﻴﻨﻪ ﻭﺑﻴﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﻣﺎ ﻳﻘﺘﻀﻲ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﻘﺎﺀ ﻃﻬﺮ ، ﻓﺨﺮﺟﻬﺎ ﺟﻤﻬﻮﺭ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ ﻋﻠﻰ ﻗﻮﻟﻴﻦ . ﻭﺫﻛﺮ ﺇﻣﺎﻡ ﺍﻟﺤﺮﻣﻴﻦ ﻭﺍﺑﻦ ﺍﻟﺼﺒﺎﻍ ﻧﺤﻮ ﻛﻼﻡ ﺻﺎﺣﺐ ﺍﻟﺤﺎﻭﻱ .
ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﺍﻟﺼﺒﺎﻍ : ﻭﻣﻦ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ ﻣﻦ ﻗﺎﻝ : ﺍﻟﺠﻤﻴﻊ ﺣﻴﺾ ﻗﻮﻻ ﻭﺍﺣﺪﺍ ﻭﺃﻣﺎ ﺫﻛﺮﻩ ﻣﻊ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﻛﺎﻥ ﻣﻨﺎﻇﺮﺓ ; ﻭﻗﺪ ﻳﻨﺼﺮ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻨﺎﻇﺮﺓ ﻏﻴﺮ ﻣﺬﻫﺒﻪ . ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺪﺍﺭﻣﻲ ﻓﻲ ﻣﻮﺍﺿﻊ ﻣﻦ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻤﺘﺤﻴﺮﺓ : ﻣﻦ ﻗﺎﻝ ﻓﻴﻪ ﻗﻮﻻﻥ ﻓﻘﺪ ﻏﻠﻂ ; ﺑﻞ ﺍﻟﺼﻮﺍﺏ ﺍﻟﻘﻄﻊ ﺑﺎﻟﺘﻠﻔﻴﻖ ، ﻭﻟﻢ ﻳﺬﻛﺮ ﻟﻄﺮﻳﻘﺘﻪ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺸﺎﺫﺓ ﻣﺴﺘﻨﺪﺍ ، ﻓﺤﺼﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺴﺄﻟﺔ ﺛﻼﺛﺔ ﻃﺮﻕ : ) ﺃﺣﺪﻫﺎ ( ﺍﻟﻘﻄﻊ ﺑﺎﻟﺘﻠﻔﻴﻖ
ﻭﺍﻟﺜﺎﻧﻲ ( ﺍﻟﻘﻄﻊ ﺑﺎﻟﺴﺤﺐ ، ﻭﻫﻮ ﺍﻟﻤﺸﻬﻮﺭ ﻣﻦ ﻧﺼﻮﺻﻪ ) ﻭﺍﻟﺜﺎﻟﺚ ( ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺴﺄﻟﺔ ﻗﻮﻻﻥ ، ﻭﻫﻮ ﺍﻟﻤﺸﻬﻮﺭ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺬﻫﺐ . ﻭﺑﺎﻟﺘﻠﻔﻴﻖ ﻗﺎﻝ ﻣﺎﻟﻚ ﻭﺃﺣﻤﺪ ﻭﺑﺎﻟﺴﺤﺐ ﺃﺑﻮ ﺣﻨﻴﻔﺔ . ﻭﻗﺪ ﺳﺒﻖ ﺩﻟﻴﻞ ﺍﻟﻘﻮﻟﻴﻦ ، ﻓﺎﻟﺤﺎﺻﻞ ﺃﻥ ﺍﻟﺮﺍﺟﺢ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﻗﻮﻝ ﺍﻟﺴﺤﺐ .
ﻗﺎﻝ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ : ﻭﺳﻮﺍﺀ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﺘﻘﻄﻊ ﻳﻮﻣﺎ ﻭﻟﻴﻠﺔ ﺩﻣﺎ ﻭﻳﻮﻣﺎ ﻭﻟﻴﻠﺔ ﻧﻘﺎﺀ ﺃﻭ ﻳﻮﻣﻴﻦ ، ﻭﻳﻮﻣﻴﻦ ﺃﻭ ﺧﻤﺴﺔ ﻭﺧﻤﺴﺔ ﺃﻭ ﺳﺘﺔ ﻭﺳﺘﺔ ﺃﻭ ﺳﺒﻌﺔ ﻭﺳﺒﻌﺔ ﻭﻳﻮﻣﺎ ، ﺃﻭ ﻳﻮﻣﺎ ﻭﻋﺸﺮﺓ ، ﺃﻭ ﺧﻤﺴﺔ ﺃﻭ ﻳﻮﻣﺎ ﻭﻟﻴﻠﺔ ﺩﻣﺎ ، ﻭﺛﻼﺛﺔ ﻋﺸﺮ ﻧﻘﺎﺀ ﻭﻳﻮﻣﺎ ﻭﻟﻴﻠﺔ ﺩﻣﺎ ، ﺃﻭ ﻏﻴﺮ ﺫﻟﻚ ﻓﺎﻟﺤﻜﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﻜﻞ ﺳﻮﺍﺀ ﻭﻫﻮ ﺃﻧﻪ ﺇﺫﺍ ﻟﻢ ﻳﺠﺎﻭﺯ ﺧﻤﺴﺔ ﻋﺸﺮ ﻓﺄﻳﺎﻡ ﺍﻟﺪﻡ ﺣﻴﺾ ﺑﻼ ﺧﻼﻑ ﻭﻓﻲ ﺃﻳﺎﻡ ﺍﻟﻨﻘﺎﺀ ﺍﻟﻤﺘﺨﻠﻞ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺪﻡ ﺍﻟﻘﻮﻻﻥ . ﻭﻟﻮ ﺗﺨﻠﻞ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺪﻡ ﺍﻷﺳﻮﺩ ﺻﻔﺮﺓ ﺃﻭ ﻛﺪﺭﺓ ﻭﻗﻠﻨﺎ : ﺇﻥﻫﺎ ﻟﻴﺴﺖ ﺑﺤﻴﺾ ﻓﻬﻲ ﻛﺘﺨﻠﻞ ﺍﻟﻨﻘﺎﺀ ﻭﺇﻻ ﻓﺎﻟﺠﻤﻴﻊ ﺣﻴﺾ ، ﻭﻟﻮ ﺗﺨﻠﻠﺖ ﺣﻤﺮﺓ ﻓﺎﻟﺠﻤﻴﻊ ﺣﻴﺾ ﻗﻄﻌﺎ . ﻭﺍﻋﻠﻢ ﺃﻥ ﺍﻟﻘﻮﻟﻴﻦ ﺇﻧﻤﺎ ﻫﻤﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺼﻮﻡ ﻭﺍﻟﻄﻮﺍﻑ ﻭﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ ﻭﺍﻟﻐﺴﻞ ﻭﺍﻻﻋﺘﻜﺎﻑ ﻭﺍﻟﻮﻁﺀ ﻭﻧﺤﻮﻫﺎ ، ﻭﻻ ﺧﻼﻑ ﺃﻥ ﺍﻝﻧﻘﺎﺀ ﻟﻴﺲ ﺑﻄﻬﺮ ﻓﻲ ﺍﻧﻘﻀﺎﺀ ] ﺹ: 519 [ ﺍﻟﻌﺪﺓ ﻭﻛﻮﻥ ﺍﻟﻄﻼﻕ ﺳﻨﻴﺎ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻐﺰﺍﻟﻲ ﻓﻲ ﺍﻟﺒﺴﻴﻂ : ﺃﺟﻤﻌﺖ ﺍﻷﻣﺔ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺠﻌﻞ ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﻃﻬﺮﺍ ﻛﺎﻣﻼ ، ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻤﺘﻮﻟﻲ ﻭﻏﻴﺮﻩ : ﺇﺫﺍ ﻗﻠﻨﺎ ﺑﺎﻟﺘﻠﻔﻴﻖ ﻓﻼ ﺧﻼﻑ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺠﻌﻞ ﻛﻞ ﺩﻡ ﺣﻴﻀﺎ ﻣﺴﺘﻘﻼ ﻭﻻ ﻛﻞ ﻧﻘﺎﺀ ﻃﻬﺮﺍ ﻣﺴﺘﻘﻼ ، ﺑﻞ ﺍﻟﺪﻣﺎﺀ ﻛﻠﻬﺎ ﺣﻴﺾ ﻭﺍﺣﺪ ﻳﻌﺮﻑ ﻭﺍﻟﻨﻘﺎﺀ ﻣﻊ ﻣﺎ ﺑﻌﺪﻩ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﻬﺮ ﻃﻬﺮ ﻭﺍﺣﺪ ﻗﺎﻝ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ : ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻟﻘﻮﻟﻴﻦ ﺇﺫﺍ ﺭﺃﺕ ﺍﻟﻨﻖﺍﺀ ﻓﻲ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ ﻋﻤﻠﺖ ﻋﻤﻞ ﺍﻟﻄﺎﻫﺮﺍﺕ ﺑﻼ ﺧﻼﻑ ﻷﻧﺎ ﻻ ﻧﻌﻠﻢ ﺃﻧﻬﺎ ﺫﺍﺕ ﺗﻠﻔﻴﻖ ﻻﺣﺘﻤﺎﻝ ﺩﻭﺍﻡ ﺍﻻﻧﻘﻄﺎﻉ ﻗﺎﻝﻭﺍ : ﻓﻴﺠﺐ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺃﻥ ﺗﻐﺘﺴﻞ ﻭﺗﺼﻮﻡ ﻭﺗﺼﻠﻲ ﻭﻟﻬﺎ ﻗﺮﺍﺀﺓ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭﻣﺲ ﺍﻟﻤﺼﺤﻒ ﻭﺍﻟﻄﻮﺍﻑ ﻭﺍﻻﻋﺘﻜﺎﻑ ﻭﻟﻠﺰﻭﺝ ﻭﻃﺆﻫﺎ ، ﻭﻻ ﺧﻼﻑ ﻓﻲ ﺷﻲﺀ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ﺇﻻ ﻭﺟﻬﺎ ﺣﻜﺎﻩ ﺍﻟﺮﺍﻓﻌﻲ ﺃﻧﻪ ﻳﺤﺮﻡ ﻭﻃﺆﻫﺎ ﻋﻠﻰ ﻗﻮﻝ ﺍﻟﺴﺤﺐ ﻭﻫﻮ ﻏﻠﻂ ﻭﻻ ﺗﻔﺮﻳﻊ ﻋﻠﻴﻪ ، ﻓﺈﺫﺍ ﻋﺎﻭﺩﻫﺎ ﺍﻟﺪﻡ ﻓﻲ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻟﺜﺎﻟﺚ ﺗﺒﻴﻨﺎ ﺃﻥﻫﺎ ﻣﻠﻔﻘﺔ . ﺇﻥ ﻗﻠﻨﺎ ﺑﺎﻟﺘﻠﻔﻴﻖ ﺗﺒﻴﻨﺎ ﺻﺤﺔ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﻭﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻻﻋﺘﻜﺎﻑ ﻭﺇﺑﺎﺣﺔ ﺍﻟﻮﻁﺀ ﻭﻏﻴﺮﻫﺎ ﻭﺇﻥ ﻗﻠﻨﺎ ﺑﺎﻟﺲﺣﺐ ﺗﺒﻴﻨﺎ ﺑﻄﻼﻥ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ ﺍﻟﺘﻲ ﻓﻌﻠﺘﻬﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ ، ﻓﻴﺠﺐ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻗﻀﺎﺀ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﻭﺍﻻﻋﺘﻜﺎﻑ ﻭﺍﻟﻄﻮﺍﻑ ﺍﻟﻢﻓﻌﻮﻻﺕ ﻋﻦ ﻭﺍﺟﺐ ، ﻭﻛﺬﺍ ﻟﻮ ﻛﺎﻧﺖ ﺻﻠﺖ ﻋﻦ ﻗﻀﺎﺀ ﺃﻭ ﻧﺬﺭ ﻭﻻ ﻳﺠﺐ ﻗﻀﺎﺀ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺍﻟﻤﺆﺩﺍﺓ ﻷﻧﻪ ﺯﻣﻦ ﺍﻟﺤﻴﺾ ، ﻭﻻ ﺻﻼﺓ ﻓﻴﻪ ، ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻧﺖ ﺻﺎﻣﺖ ﻧﻔﻼ ، ﻗﺎﻝ ﺻﺎﺣﺐ ﺍﻟﺒﻴﺎﻥ : ﺗﺒﻴﻨﺎ ﺃﻧﻪ ﻻ ﺛﻮﺍﺏ ﻓﻴﻪ ﻭﻓﻴﻤﺎ ﻗﺎﻟﻪ ﻧﻈﺮ ، ﻭﻳﻨﺒﻐﻲ ﺃﻥ ﻳﻘﺎﻝ : ﻟﻬﺎ ﺛﻮﺍﺏ ﻋﻠﻰ ﻗﺼﺪ ﺍﻟﻄﺎﻋﺔ ﻭﻻ ﺛﻮﺍﺏ ﻋﻠﻰ ﻧﻔﺲ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﺇﺫﺍ ﻟﻢ ﻳﺼﺢ ﻭﻟﻌﻞ ﻫﺬﺍ ﻣﺮﺍﺩﻩ ، ﻗﺎﻝ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ : ﻭﻧﺘﺒﻴﻦ ﺃﻥ ﻭﻁﺀ ﺍﻟﺰﻭﺝ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻣﺒﺎﺣﺎ ﻟﻜﻦ ﻻ ﺇﺛﻢ ﻟﻠﺠﻬﻞ .
ﻗﺎﻝ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ : ﻭﻛﻠﻤﺎ ﻋﺎﺩ ﺍﻟﻨﻘﺎﺀ ﻓﻲ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﻳﺎﻡ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺮﺍﺑﻊ ﻋﺸﺮ ﻭﺟﺐ ﺍﻻﻏﺘﺴﺎﻝ ﻭﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺼﻮﻡ ﻭﺣﻞ ﺍﻟﻮﻁﺀ ﻭﻏﻴﺮﻩ ﻛﻤﺎ ﺫﻛﺮﻧﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ ، ﻓﺈﺫﺍ ﻟﻢ ﻳﻌﺪ ﺍﻟﺪﻡ ﻓﻜﻠﻪ ﻣﺎﺽ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺼﺤﺔ ، ﻭﺇﻥ ﻋﺎﺩ ﻓﺤﻜﻤﻪ ﻣﺎ ﺫﻛﺮﻧﺎﻩ ﻓﻲ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ ، ﻫﻜﺬﺍ ﻗﻄﻊ ﺑﻪ ﺍﻷﺻﺤﺎﺏ ﻓﻲ ﻛﻞ ﺍﻟﻄﺮﻕ ﺇﻻ ﻭﺟﻬﺎ ﺷﺎﺫﺍ ﺣﻜﺎﻩ ﺇﻣﺎﻡ ﺍﻟﺤﺮﻣﻴﻦ ﻭﻣﻦ ﺗﺎﺑﻌﻪ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﻘﺎﺀ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ ﻭﻫﻮ ﺍﻟﺤﺎﺻﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻟﺮﺍﺑﻊ ﻳﺒﻨﻰ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺍﻟﻌﺎﺩﺓ ﻫﻞ ﺗﺜﺒﺖ ﺑﻤﺮﺓ ﺃﻡ ﻻ ؟ ﻓﺈﻥ ﺃﺛﺒﺘﻨﺎﻫﺎ ﺑﻤﺮﺓ ﻭﻗﻠﻨﺎ : ﺃﻳﺎﻡ ﺍﻟﻨﻘﺎﺀ ﺣﻴﺾ ﺃﻣﺴﻜﺖ ﻋﻤﺎ ﺗﻤﺴﻚ ﻋﻨﻪ ﺍﻟﺤﺎﺋﺾ ﻻﻧﺘﻈﺎﺭ ﻋﻮﺩ ﺍﻟﺪﻡ ، ﻭﺇﻥ ﻗﻠﻨﺎ : ﻻ ﺕﺛﺒﺖ ﺑﻤﺮﺓ ﺍﻏﺘﺴﻠﺖ ﻭﻓﻌﻠﺖ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ ﻭﻋﻠﻰ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻮﺟﻪ ﺗﻤﺴﻚ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﻘﺎﺀ ﺍﻟﺜﺎﻟﺚ ﻭﻫﺬﺍ ﺍﻟﻮﺟﻪ ﻟﻴﺲ ﺑﺸﻲﺀ ﻭﻗﺪ ﺣﻚﺍﻩ ﺇﻣﺎﻡ ﺍﻟﺤﺮﻣﻴﻦ ﻋﻦ ﻭﺍﻟﺪﻩ ﺛﻢ ﺿﻌﻔﻪ . ﻭﻗﺎﻝ : ﻫﺬﺍ ﺑﻌﻴﺪ ﻟﻢ ﺃﺭﻩ ﻟﻐﻴﺮﻩ . ﻫﺬﺍ ﺣﻜﻢ ﺍﻟﺸﻬﺮ ﺍﻷﻭﻝ ﻓﺈﺫﺍ ﺟﺎﺀ ﺍﻟﺸﻬﺮ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ ﻓﺮﺃﺕ ] ﺹ: 520 [ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻷﻭﻝ ﻭﻟﻴﻠﺘﻪ ﺩﻣﺎ ، ﻭﺍﻟﺜﺎﻧﻲ ﻭﻟﻴﻠﺘﻪ ﻧﻘﺎﺀ ، ﻓﻔﻴﻪ ﻃﺮﻳﻘﺎﻥ ﺣﻜﺎﻫﻤﺎ ﺇﻣﺎﻡ ﺍﻟﺤﺮﻣﻴﻦ ﻭﻏﻴﺮﻩ : ) ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ ( ﻭﺑﻪ ﻗﻄﻊ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﺃﺑﻮ ﺣﺎﻣﺪ ﻭﺍﺑﻦ ﺍﻟﺼﺒﺎﻍ ﻭﻏﻴﺮﻫﻤﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﺮﺍﻗﻴﻴﻦ ﻭﺍﻟﺸﻴﺦ ﺃﺑﻮ ﺯﻳﺪ ﻭﻏﻴﺮﻩ ﻣﻦ ﺍﻟﺨﺮﺍﺳﺎﻧﻴﻴﻦ ﺃﻥ ﺣﻜﻢ ﺍﻟﺸﻬﺮ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ ﻭﺍﻟﺜﺎﻟﺚ ﻭﺍﻟﺮﺍﺑﻊ ﻭﻣﺎ ﺑﻌﺪﻫﺎ ﺃﺑﺪﺍ ﻛﺎﻟﺸﻬﺮ ﺍﻷﻭﻝ ﻓﺘﻐﺘﺴﻞ ﻋﻦﺩ ﻛﻞ ﻧﻘﺎﺀ ﻭﺗﻔﻌﻞ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ ﻭﻳﻄﺆﻫﺎ ﺍﻟﺰﻭﺝ
)ﻭَﺍِﻥْ ﺗَﻘَﻄَّﻊْ ﻓَــﺎﻟﻨَّﻘَـﺎﺏَ ﻳْﻦَ ﺍﻟﺪِّﻣَﺎ* ﺑِﻘَﻮْﻟَﻲِ ﺍﻟﺴَّﺤْﺐِ ﺍَﻭِ ﺍﻟﻠَّﻘْﻂِ ﺍﺣْﻜُﻤَﺎ(

HUKUM :darah yang terhenti ditengah-tengah haidl itu ada 2 qaul :

1-termasuk haidl (qaul ini yang mu’tamad, dikatakan qaul sahb).

2-termasuk suci (qaul ini dikatakan qaul laqth/talfiq

( )ﻭَﺍِﻥْ ﺗَﻘَﻄَّﻊَ( ﺍﻟﺪَّﻡُ )ﻓَــ(ﺍﺣْﻜُﻢْ )ﺍﻟﻨَّﻘَﺎ( ﺍَﻟْﻤُﺘَﺨَﻠِّﻞَ )ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟﺪِّﻣَﺎﺀِ ﺑِﻘَﻮْﻟَﻲْ( ﺍْﻟﻔُﻘَﻬَﺎﺀِ ﻗَﻮْﻝِ )ﺍﻟﺴَّﺤْﺐِ( ﻭَﻫُﻮَ ﺃَﻧَّﻪُ ﺣَﻴْﺾٌ ﺗَﺒَﻌًﺎ ﻟَﻬَﺎ ﺑِﺸُﺮُﻭﻁٍ : ﻭَﻫِﻲَ ﺃَﻥْ ﻻَ ﻳُﺠَﺎﻭِﺯَ ﺫَﻟِﻚَ ﺧَﻤْﺴَﺔَ ﻋَﺸَﺮَ ﻳَﻮْﻣًﺎ ، ﻭَﻟَﻢْ ﺗــَﻨْﻘُﺺْ ﺍﻟﺪِّﻣَﺎﺀُ ﻋَﻦْ ﺃَﻗَﻞِّ ﺍﻟْﺤَﻴْﺾِ ، ﻭَﺃَﻥْ ﻳَﻜُﻮﻥَ ﺍﻟﻨَّﻘَﺎﺀُ ﻣُﺤْﺘـــَﻮَﺷًﺎ ﺍﻱْ ﻣُﻜْﺘَﻨَﻔﺎ ﺑَﻴْﻦَ ﺩَﻣَﻲْ ﺣَﻴْﺾٍ ، ﻓَﺈِﺫَﺍ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﺗَﺮَﻯ ﻭَﻗْﺘًﺎ ﺩَﻣًﺎ ﻭَﻭَﻗْﺘﺎً ﻧَﻘَﺎﺀً ﻭَﺍﺟْﺘَﻤَﻌَﺖْ ﻫَﺬِﻩِ ﺍﻟﺸُّﺮُﻭﻁُ ﺣَﻜَﻤْﻨَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻜُﻞِّ ﺑِﺄَﻧَّﻪُ ﺣَﻴْﺾٌ ، ﻭَﻫَﺬَﺍ ﻫُﻮَ ﺍْﻟﻤُﻌْﺘَﻤَﺪُ ﻭَ ﻳُﺴَﻤَّﻰ ﻗَﻮْﻝَ ﺍﻟﺴَّﺤْﺐِ ِﻷَﻧَّﻨَﺎ ﺳَﺤَﺒْﻨَﺎ ﺍﻟْﺤُﻜْﻢَ ﺑِﺎﻟْﺤَﻴْﺾِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨَّﻘَﺎﺀِ ﺃَﻳْﻀًﺎ ﻭَﺟَﻌَﻠْﻨَﺎ ﺍﻟْﻜُﻞَّ ﺣَﻴْﻀًﺎ)ﺍَﻭْ( ﻗَﻮْﻝِ )ﺍﻟﻠَّﻘْﻂِ( ﻭَﺍﻟﺘَّﻠْﻔِﻴْﻖِ ﻭَﻫُﻮَ ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻨَّﻘَﺎﺀَ ﺍَﻟْﻤُﺘَﺨَﻠِّﻞَ ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟﺪِّﻣَﺎﺀِ ﻃُﻬْﺮٌ ﺃﻱْ )ﺍﺣْﻜُﻤَﺎ( ﺍﻷﻟِﻒُ ﻋِﻮَﺽٌ ﻋَﻦْ ﻧُﻮْﻥِ ﺍﻟﺘَّﻮْﻛِﻴْﺪِ, ِﻷَﻧَّﻪُ ﺇﺫَﺍ ﺩَﻝَّ ﺍﻟﺪَّﻡُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺤَﻴْﺾِ ﻭَﺟَﺐَ ﺃَﻥْ ﻳَﺪُﻝَّ ﺍﻟﻨَّﻘَﺎﺀُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻄُّﻬْﺮِﻭ ﺍﻟﻨَّﻘَﺎﺀُ ﺑَﻌْﺪَ ﺁﺧِﺮِ ﺍﻟﺪِّﻣَﺎﺀِ ﻓَﻬﻮ ﻃُﻬْﺮٌ ﻗَﻄْﻌًﺎ ، ﻭَﺇِﻥْ ﻧَﻘَﺼَﺖْ ﺍﻟﺪِّﻣَﺎﺀُ ﻋَﻦْ ﺃَﻗَﻞِّ ﺍﻟْﺤَﻴْﺾِ ﻓَﻬِﻲَ ﺩَﻡُ ﻓَﺴَﺎﺩٍ ، ﻭَﺇِﻥْ ﺯَﺍﺩَﺕْ ﻣَﻊَ ﺍﻟﻨَّﻘَﺎﺀِ ﺑَﻴْﻨَﻬَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﺧَﻤْﺴَﺔَ ﻋَﺸَﺮَ ﻳَﻮْﻣًﺎ ﻓَﻬِﻲَ ﺩَﻡُ ﺍﺳْﺘِﺤَﺎﺿَﺔٍ ، ﻭَﻣَﺤَﻞُّ ﺍﻟْﺨِﻼَﻑِ ﻓِﻲ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓِ ﻭَﺍﻟﺼَّﻮْﻡِ ﻭَﻧَﺤْﻮِﻫِﻤَﺎ ﻓَﻼَ ﻳُﺠْﻌَﻞُ ﺍﻟﻨَّﻘَﺎﺀُ ﻃُﻬْﺮًﺍ ﻓِﻲ ﺍﻧْﻘِﻀَﺎﺀِ ﺍﻟْﻌِﺪَّﺓِ ﺇﺟْﻤَﺎﻋًﺎ ﻭَﻓِﻴﻤَﺎ ﺇﺫَﺍ ﺯَﺍﺩَ ﺍﻟﻨَّﻘَﺎﺀُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻔَﺘــَﺮَﺍﺕِ ﺍﻟْﻤُﻌْﺘَﺎﺩَﺓِ ﺑَﻴْﻦَ ﺩَﻓَﻌَﺎﺕِ ﺍﻟْﺤَﻴْﺾِ ﺃَﻣَّﺎ ﺍﻟْﻔَﺘــَﺮَﺍﺕُ ﻓَﻬِﻲَ ﺣَﻴْﺾٌ ﻗَﻄْﻌًﺎ ، ﻭَﺍﻟْﻔَﺮْﻕُ ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟْﻔَﺘﺮَﺓِ ﻭَﺍﻟﻨَّﻘَﺎﺀِ ﻛَﻤَﺎ ﻗَﺎﻟَﻪُ ﻓِﻲ ﺯَﻭَﺍﺋِﺪِ ﺍﻟﺮَّﻭْﺿَﺔِ ﺃَﻥَّ ﺍﻟْﻔَﺘـــْﺮَﺓَ ﻫِﻲَ ﺍﻟْﺤَﺎﻟَﺔُ ﺍﻟَّﺘِﻲ ﻳَﻨْﻘَﻄِﻊُ ﻓِﻴﻬَﺎ ﺟَﺮَﻳَﺎﻥُ ﺍﻟﺪَّﻡِ ﻭَﻳَﺒْﻘَﻰ ﺃَﺛَﺮٌ ﻟَﻮْ ﺃَﺩْﺧَﻠَﺖْ ﻗُﻄْﻨَﺔً ﻓِﻲ ﻓَﺮْﺟِﻬَﺎ ﻟَﺨَﺮَﺟَﺖْ ﻣُﻠَﻮَّﺛَﺔً ﻭَﺍﻟﻨَّﻘَﺎﺀُ ﺃَﻥْ ﺗَﺨْﺮُﺝَ ﻧَﻘِﻴَّﺔً ﻻَ ﺷَﻲﺀَ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ،ﻣُﻐِْﻨﻲ70
Ktb Irsyadul ima' ila ahkamid dima' 34

>> Perbandingan Refrensi:
ﺍﻟﺴﺆﺍﻝ:
ﺳﺆﺍﻟﻲ ﻋﻦ ﺍﻟﺤﻴﺾ: ﻗﺒﻞ ﺇﻧﺠﺎﺑﻲ ﺃﺑﻨﺎﺋﻲ ﻛﺎﻥ ﻋﺪﺩ ﺃﻳﺎﻡ ﺍﻟﺤﻴﺾ 3 ﻭﺑﻌﺪ ﺍﻹﻧﺠﺎﺏ ﻭﺍﺳﺘﻌﻤﺎﻝ ﺍﻟﻤﺎﻧﻊ ﺃﺻﺒﺤﺖ 7 ﺃﻭ ﺗﺰﻳﺪ ﻏﻠﻰ 10 ﻭﺗﻜﻮﻥ ﻓﻲ ﺍﻷﻳﺎﻡ ﺍﻷﺧﻴﺮﺓ ﻣﺘﻘﻄﻌﺔ ﻳﻮﻡ ﻃﻬﺎﺭﺓ ﻭﻳﻮﻡ ﺗﻨﺰﻝ، ﻭﺃﻧﺎ ﻻ ﺃﻋﻠﻢ ﻓﻲ ﺑﻌﺾ ﺍﻷﻳﺎﻡ ﺍﻟﺘﻲ ﺗﻜﻮﻥ ﻃﻬﺎﺭﺓ ﻳﺤﺼﻞ ﺟﻤﺎﻉ ﻋﻠﻰ ﻇﻨﻲ ﺃﻧﻬﺎ ﺍﻧﺘﻬﺖ ﻭﻓﻲ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻟﺘﺎﻟﻲ ﺍﺟﺪ ﺍﻟﺪﻡ ﻭﺍﺳﺘﻤﺮﺕ ﺍﻟﺤﺎﻟﺔ ﺷﻬﻮﺭﺍ، ﻭﻛﻞ ﻣﺮﺓ ﻛﻨﺖ ﺃﻃﻬﺮ ﺃﺷﻚ ﻓﻲ ﺍﻷﻣﺮ ﻭﻳﺤﺼﻞ ﺍﻟﺠﻤﺎﻉ. ﻫﻞ ﺃﺃﺛﻢ ﺃﻡ ﻻ؟ ﻭﻣﺎ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻲ ﻋﻠﻤﺎ ﺃﻧﻬﺎ ﺗﻜﻮﻥ ﻣﺘﻘﻄﻌﺔ ﺟﺪﺍ ﻭﻳﻜﻮﻥ ﺍﻟﺪﻡ ﺃﻳﺎﻡ ﺍﻟﺘﻘﻄﻴﻊ ﻓﺎﺗﺤﺎ ﺃﻭ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﻊ ﺇﻓﺮﺍﺯﺍﺕ ﻓﻼ ﺃﻋﻠﻢ ﺣﻜﻤﻪ. ﺇﺫﺍ ﻛﻨﺖ ﺃﺃﺛﻢ ﻓﻤﺎ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻲ. ﺃﺭﺟﻮ ﺇﻓﺎﺩﺗﻲ؟
ﺍﻹﺟﺎﺑــﺔ:
ﺍﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ ﻭﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﻋﻠﻰ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﻋﻠﻰ ﺁﻟﻪ ﻭﺻﺤﺒﻪ، ﺃﻣﺎ ﺑﻌـﺪ:
ﻓﺈﺫﺍ ﺭﺃﻳﺖ ﺍﻟﻄﻬﺮ ﺑﺈﺣﺪﻯ ﻋﻼﻣﺘﻴﻪ ﺛﻢ ﺍﻏﺘﻠﺴﺖ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻋﻠﻰ ﺯﻭﺟﻚ ﺣﺮﺝ ﻓﻲ ﻭﻃﺌﻚ، ﻓﺈﺫﺍ ﻋﺎﻭﺩﻙ ﺍﻟﺪﻡ ﻓﺈﻧﻚ ﺗﺮﺟﻌﻴﻦ ﺣﺎﺋﻀﺎ ﻭﺗﺘﺮﻛﻴﻦ ﻣﺎ ﺗﺘﺮﻛﻪ ﺍﻟﺤﺎﺋﺾ ﻣﻦ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺼﻮﻡ ﻭﺍﻟﺠﻤﺎﻉ ﻭﻧﺤﻮ ﺫﻟﻚ، ﻣﺎ ﺩﺍﻣﺖ ﻣﺪﺓ ﺃﻳﺎﻡ ﺍﻟﺪﻡ ﻭﻣﺎ ﺗﺨﻠﻠﻬﺎ ﻣﻦ ﻧﻘﺎﺀ ﻻ ﺗﺰﻳﺪ ﻋﻠﻰ ﺧﻤﺴﺔ ﻋﺸﺮ ﻳﻮﻣﺎ ﺍﻟﺘﻲ ﻫﻲ ﺃﻛﺜﺮ ﻣﺪﺓ ﺍﻟﺤﻴﺾ، ﻭﺍﻧﻈﺮﻱ ﺍﻟﻔﺘﻮﻯ ﺭﻗﻢ: 118286 .
ﻭﻟﻤﺰﻳﺪ ﺍﻟﻔﺎﺋﺪﺓ ﻧﻘﻮﻝ: ﺇﻥ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﺍﺧﺘﻠﻔﻮﺍ ﻓﻲ ﺍﻟﻄﻬﺮ ﺍﻟﻤﺘﺨﻠﻞ ﻟﻠﺤﻴﻀﺔ ﻫﻞ ﻳﺤﻜﻢ ﺑﻜﻮﻧﻪ ﻃﻬﺮﺍ ﺻﺤﻴﺤﺎ ﻭﻳﻀﻢ ﺍﻟﺪﻡ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺪﻡ ﻭﻳﻜﻮﻥ ﻣﺎ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ ﻃﻬﺮﺍ ﻭﻫﻮ ﺍﻟﻤﻌﺮﻭﻑ ﺑﺎﻟﺘﻠﻔﻴﻖ، ﻭﻫﻮ ﻗﻮﻝ ﻣﺎﻟﻚ ﻭﺃﺣﻤﺪ ﻭﺃﺣﺪ ﻗﻮﻟﻲ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ، ﺃﻭ ﻳﺤﻜﻢ ﺑﻜﻮﻧﻪ ﺣﻴﻀﺎ ﻭﻫﻮ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ ﻭﻗﻮﻝ ﺃﺑﻲ ﺣﻨﻴﻔﺔ ﻭﻫﻮ ﺍﻟﻤﻌﺮﻭﻑ ﺑﺎﻟﺴﺤﺐ، ﻭﻋﻠﻰ ﻛﻼ ﺍﻟﻘﻮﻟﻴﻦ ﻓﺈﻧﻪ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﺃﻥ ﺗﻐﺘﺴﻞ ﻋﻨﺪ ﺭﺅﻳﺔ ﺍﻟﻄﻬﺮ ﻭﺗﻔﻌﻞ ﻣﺎ ﺗﻔﻌﻠﻪ ﺍﻟﻄﺎﻫﺮﺍﺕ ﻭﻟﺰﻭﺟﻬﺎ ﺃﻥ ﻳﺠﺎﻣﻌﻬﺎ ﻭﻻ ﺣﺮﺝ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻛﻠﻪ، ﻭﺇﻧﻤﺎ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﺑﺎﻟﺴﺤﺐ ﺃﻥ ﺗﻘﻀﻲ ﻭﺍﺟﺐ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﺇﻥ ﻛﺎﻧﺖ ﺻﺎﻣﺖ ﻓﻲ ﺃﺛﻨﺎﺀ ﺗﻠﻚ ﺍﻟﻤﺪﺓ .
ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻓﺈﻧﻬﺎ ﻻ ﺗﻘﻀﻴﻬﺎ ﻟﻜﻮﻧﻬﺎ ﻛﺎﻧﺖ ﻣﺤﻜﻮﻣﺎ ﺑﺤﻴﻀﻬﺎ ﻭﺍﻟﺤﺎﺋﺾ ﻻ ﺗﺼﻠﻲ.
ﻭﻗﺪ ﻓﺼﻞ ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ ﻣﺎ ﺫﻛﺮﻧﺎﻩ ﻭﻧﺤﻦ ﻧﻨﻘﻞ ﻣﻦ ﻛﻼﻣﻪ ﻃﺮﻓﺎ ﻳﺘﺒﻴﻦ ﺑﻪ ﺍﻟﻤﻘﺼﻮﺩ ﻭﻳﺘﻀﺢ ﺑﻪ ﺣﻜﻢ ﺍﻟﻤﺴﺄﻟﺔ.
ﻗﺎﻝ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ: ﻭﺑﺎﻟﺘﻠﻔﻴﻖ ﻗﺎﻝ ﻣﺎﻟﻚ ﻭﺃﺣﻤﺪ ﻭﺑﺎﻟﺴﺤﺐ ﺃﺑﻮ ﺣﻨﻴﻔﺔ ، ﻭﺍﻟﺤﺎﺻﻞ ﺃﻥ ﺍﻟﺮﺍﺟﺢ ﻋﻨﺪﻧﺎ -ﺃﻱ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ- ﻗﻮﻝ ﺍﻟﺴﺤﺐ . ﻗﺎﻝ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ : ﻭﺳﻮﺍﺀ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﺘﻘﻄﻊ ﻳﻮﻣﺎ ﻭﻟﻴﻠﺔ ﺩﻣﺎ ﻭﻳﻮﻣﺎ ﻭﻟﻴﻠﺔ ﻧﻘﺎﺀ ﺃﻭ ﻳﻮﻣﻴﻦ ، ﻭﻳﻮﻣﻴﻦ ﺃﻭ ﺧﻤﺴﺔ ﻭﺧﻤﺴﺔ ﺃﻭ ﻏﻴﺮ ﺫﻟﻚ ﻓﺎﻟﺤﻜﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﻜﻞ ﺳﻮﺍﺀ ﻭﻫﻮ ﺃﻧﻪ ﺇﺫﺍ ﻟﻢ ﻳﺠﺎﻭﺯ ﺧﻤﺴﺔ ﻋﺸﺮ ﻓﺄﻳﺎﻡ ﺍﻟﺪﻡ ﺣﻴﺾ ﺑﻼ ﺧﻼﻑ. ﻭﻓﻲ ﺃﻳﺎﻡ ﺍﻟﻨﻘﺎﺀ ﺍﻟﻤﺘﺨﻠﻞ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺪﻡ ﺍﻟﻘﻮﻻﻥ، ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻤﺘﻮﻟﻲ ﻭﻏﻴﺮﻩ : ﺇﺫﺍ ﻗﻠﻨﺎ ﺑﺎﻟﺘﻠﻔﻴﻖ ﻓﻼ ﺧﻼﻑ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺠﻌﻞ ﻛﻞ ﺩﻡ ﺣﻴﻀﺎ ﻣﺴﺘﻘﻼ ﻭﻻ ﻛﻞ ﻧﻘﺎﺀ ﻃﻬﺮﺍ ﻣﺴﺘﻘﻼ ، ﺑﻞ ﺍﻟﺪﻣﺎﺀ ﻛﻠﻬﺎ ﺣﻴﺾ ﻭﺍﺣﺪ ﻳﻌﺮﻑ، ﻭﺍﻟﻨﻘﺎﺀ ﻣﻊ ﻣﺎ ﺑﻌﺪﻩ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﻬﺮ ﻃﻬﺮ ﻭﺍﺣﺪ. ﻗﺎﻝ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ : ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻟﻘﻮﻟﻴﻦ ﺇﺫﺍ ﺭﺃﺕ ﺍﻟﻨﻘﺎﺀ ﻓﻲ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ ﻋﻤﻠﺖ ﻋﻤﻞ ﺍﻟﻄﺎﻫﺮﺍﺕ ﺑﻼ ﺧﻼﻑ ﻷﻧﺎ ﻧﻌﻠﻢ ﺃﻧﻬﺎ ﺫﺍﺕ ﺗﻠﻔﻴﻖ ﻻﺣﺘﻤﺎﻝ ﺩﻭﺍﻡ ﺍﻻﻧﻘﻄﺎﻉ ﻗﺎﻟﻮﺍ : ﻓﻴﺠﺐ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺃﻥ ﺗﻐﺘﺴﻞ ﻭﺗﺼﻮﻡ ﻭﺗﺼﻠﻲ ﻭﻟﻬﺎ ﻗﺮﺍﺀﺓ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭﻣﺲ ﺍﻟﻤﺼﺤﻒ ﻭﺍﻟﻄﻮﺍﻑ ﻭﺍﻻﻋﺘﻜﺎﻑ ﻭﻟﻠﺰﻭﺝ ﻭﻃﺆﻫﺎ ، ﻭﻻ ﺧﻼﻑ ﻓﻲ ﺷﻲﺀ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ، ﻓﺈﺫﺍ ﻋﺎﻭﺩﻫﺎ ﺍﻟﺪﻡ ﻓﻲ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻟﺜﺎﻟﺚ ﺗﺒﻴﻨﺎ ﺃﻧﻬﺎ ﻣﻠﻔﻘﺔ؛ ﺇﻥ ﻗﻠﻨﺎ ﺑﺎﻟﺘﻠﻔﻴﻖ ﺗﺒﻴﻨﺎ ﺻﺤﺔ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﻭﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻻﻋﺘﻜﺎﻑ ﻭﺇﺑﺎﺣﺔ ﺍﻟﻮﻁﺀ ﻭﻏﻴﺮﻫﺎ، ﻭﺇﻥ ﻗﻠﻨﺎ ﺑﺎﻟﺴﺤﺐ ﺗﺒﻴﻨﺎ ﺑﻄﻼﻥ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ ﺍﻟﺘﻲ ﻓﻌﻠﺘﻬﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ ، ﻓﻴﺠﺐ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻗﻀﺎﺀ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﻭﺍﻻﻋﺘﻜﺎﻑ ﻭﺍﻟﻄﻮﺍﻑ ﺍﻟﻤﻔﻌﻮﻻﺕ ﻋﻦ ﻭﺍﺟﺐ ، ﻭﻛﺬﺍ ﻟﻮ ﻛﺎﻧﺖ ﺻﻠﺖ ﻋﻦ ﻗﻀﺎﺀ ﺃﻭ ﻧﺬﺭ، ﻭﻻ ﻳﺠﺐ ﻗﻀﺎﺀ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺍﻟﻤﺆﺩﺍﺓ ﻷﻧﻪ ﺯﻣﻦ ﺍﻟﺤﻴﺾ ، ﻭﻻ ﺻﻼﺓ ﻓﻴﻪ. ﺍﻧﺘﻬﻰ ﺑﺘﺼﺮﻑ.
ﻭﺍﻟﻤﺨﺘﺎﺭ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﻫﻮ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﺑﺎﻟﺘﻠﻔﻴﻖ ﻛﻤﺎ ﺑﻴﻨﺎﻩ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺘﻮﻯ ﺭﻗﻢ: 23006. ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ.

Sumber:
http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=138491

 Link asal:
https://www.facebook.com/199924643494860/timeline/story?ut=44&hash=4533584291476044426&wstart=0&wend=1378018799&pagefilter=2&ustart&refid=17&ref=stream

136. SETAN TERBELENGGU DI BULAN RAMADHAN




PERTANYAAN:
Assalamu Alaikum.
Apa yang dimaksud " Syaitan itu terbelenggu " pada bulan romadhon, guna lebih mempertegas aanggapan dan ketidak percayaan orang awam bahwa pada saat itu kemaksiatan masih merajalela?
pertanyaan sering terungkap dikalangan masyarakat
============================== ==================
 Terimaksih.... Syukron ..banyak.

SAIL: Modhof Eleih

JAWABAN:
Wa Alaikum Salam. Wr. Wb.
Perbuat maksiat dan kejahatan yang terjadi di bulan puasa ialah Karena masih dimungkinkan kemaksiatan tersebut terjadi akibat nafsu yang jelek (Nafsu Ammaroh) dari seseorang atau pengaruh setan dari bangsa manusia.

REFRENSI:

فتح الباري لابن حجر العسقلاني (ج 4/ص 114-115)
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﻘﺮﻃﺒﻲ ﺑﻌﺪ ﺃﻥ ﺭﺟﺢ ﺣﻤﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻇﺎﻫﺮﻩ ﻓﺈﻥ ﻗﻴﻞ ﻛﻴﻒ ﻧﺮﻯ ﺍﻟﺸﺮﻭﺭ ﻭﺍﻟﻤﻌﺎصي ﻭﺍﻗﻌﺔ ﻓﻲ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻛﺜﻴﺮﺍ ﻓﻠﻮ ﺻﻔﺪﺕ ﺍﻟﺸﻴﺎﻃﻴﻦ ﻟﻢ ﻳﻘﻊ ﺫﻟﻚ ﻓﺎﻟﺠﻮﺍﺏ ﺃﻧﻬﺎ ﺇﻧﻤﺎ ﺗﻘﻞ ﻋﻦ ﺍﻟﺼﺎﺋﻤﻴﻦ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﺍﻟﺬﻱ ﺣﻮﻓﻆ ﻋﻠﻰ ﺷﺮﻭﻃﻪ ﻭﺭﻭﻋﻴﺖ ﺍﺩﺍﺑﻪ ﺃﻭ ﺍﻟﻤﺼﻔﺪ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﺸﻴﺎﻃﻴﻦ ﻭﻩ... ﻡ ﺍﻟﻤﺮﺩﺓ ﻻﻛﻠﻬﻢ ﻛﻤﺎ ﺗﻘﺪﻡ ﻓﻲ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﺮﻭﺍﻳﺎﺕ ﺃﻭ ﺍﻟﻤﻘﺼﻮﺩ ﺗﻘﻠﻴﻞ ﺍﻟﺸﺮﻭﺭ ﻓﻴﻪ ﻭﻫﺬﺍ ﺃﻣﺮ ﻣﺤﺴﻮﺱ ﻓﺈﻥ ﻭﻗﻮﻉ ﺫﻟﻚ ﻓﻴﻪ ﺃﻗﻞ ﻣﻦ ﻏﻴﺮﻩ ﺍﺫﻻ ﻳﻠﺰﻡ ﻣﻦ ﺗﺼﻔﻴﺪ ﺟﻤﻴﻌﻬﻢ ﺃﻥ ﻻ ﻳﻘﻊ ﺷﺮ ﻭﻻ ﻣﻌﺼﻴﺔ ﻷﻥ ﻟﺬﻟﻚ ﺍﺳﺒﺎﺑﺎ ﻏﻴﺮ ﺍﻟﺸﻴﺎﻃﻴﻦ ﻛﺎﻟﻨﻔﻮﺱ ﺍﻟﺨﺒﻴﺜﺔ ﻭﺍﻟﻌﺎﺩﺍﺕ ﺍﻟﻘﺒﻴﺤﺔ ﻭﺍﻟﺸﻴﺎﻃﻲ ﻥ ﺍﻹﻧﺴﻴﺔ ﻭﻗﺎﻝ ﻏﻴﺮﻩ ﻓﻲ ﺗﺼﻔﻴﺪ ﺍﻟﺸﻴﺎﻃﻴﻦ ﻓﻲ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺇﺷﺎﺭﺓ ﺇﻟﻰ ﺭﻓﻊ ﻋﺬﺭ ﺍﻟﻤﻜﻠﻒ ﻛﺄﻧﻪ ﻳﻘﺎﻝ ﻟﻪ ﻗﺪ ﻛﻔﺖ ﺍﻟﺸﻴﺎﻃﻴﻦ ﻋﻨﻚ ﻓﻼ ﺗﻌﺘﻞ ﺑﻬﻢ ﻓﻲ ﺗﺮﻙ ﺍﻟﻄﺎﻋﺔ ﻭﻻ ﻓﻌﻞ ﺍﻟﻤﻌﺼﻴﺔ
Berkata al-Qurthuby setelah mengunggulkan pernyataan hadits : "pada bulan ramadhan pintu neraka ditutup rapat dan pintu surga dibuka selebar lebarnya dan setan diborgol" pada zhahirnya hadits Bila ditanyakan: "Bagaimana kita masih banyak melihat kejelekan dan maksiat terjadi di bulan ramadhan bila memang setan telah di borgol ?" Kejelekan tersebut menjadi jarang terjadi pada orang yang berpuasa dengan menjalankan semua syarat- syaratnya dan menjaga adab-adabnya. Atau yang diborgol hanyalah sebagian setan tidak semuanya seperti keterangan disebagian riwayat terdahulu Atau yang dimaksud adalah sedikitnya kejelekan di bulan ramadhan, ini adalah hal nyata karena kejelekan dibulan ramadhan kenyataannya memang lebih sedikit dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya dan bukan berarti apabila semua setan diborgol dibulan Ramadan sekalipun, tidak akan terjadi kejelekan dan kemaksiatan karena masih dimungkinkan kejelekan tersebut terjadi disebabkan oleh nafsu yang jelek atau setan dari setan sebangsa manusia . Dan berkata ulama lainnya: "Pengertian setan dibelenggu di bulan Ramadhan adalah tidak adanya lagi alasan seorang mukallaf, seolah-olah dikatakan : Telah tercegah setan dari menggodamu maka jangan beralasan dirimu karenanya saat meninggalkan ketaatan dan menjalani kemaksiatan.
Silahkan dikoreksi...!

Pertanyaan yg sama. Lihat disini:
https://www.facebook.com/groups/230254130404633?view=permalink&id=445863058843738&refid=18

MUJAWWIB: Muqit Ismunoer

LINK DISKUSI:
https://www.facebook.com/groups/230254130404633?view=permalink&id=452852124811498

135. MU'AMALAH: MENERIMA SHODAQOH DARI UANG HARAM.

 PERTANYAAN:
Asslmuaalaikum.

kalau di Madura sudah menjadi kebiasaan yang namanya sowan ke guru (nyabis ka guruh. Madura) . misalkan ada sesorang yang sowan ke gururu (nyabis ka kuruh) dan memberi uang namun ternyata uang tersebut adalah uang haram dan tanpa sepengetahuan guru trsebut. Dan apa hukumnya kalau guru tersebut tahu bahwa uang tersebut adalah uang haram?
SAIL: Ria Arya ASyari
JAWABAN:

Wa Alaikum Salam. Wr. Wb.

Jika penerima tahu bahwa barang yang diterima merupakan hasil curian atau barang haram lainnya, maka haram menerimanya sekaligus mengkonsumsinya. Jika tidak tahu maka ia boleh menerimanya serta halal mengkonsumsi namun dengan syarat si pemberi barang itu secara dlohir adalah orang baik, jika secara dlohir dia bukan orang baik, maka penerima akan mendapatkan tuntutan kelak diakherat walapun menerimanya hukumnya boleh. Oleh karena itu kita mesti hati-hati dalam menerima sesuatu dari orang yang secara dlohirnya adalah orang jahat, baik dalam rangka membeli, diberi dll.

REFRENSI:
فتح المعين مع إعانة الطالبين (ج 3/ص 13) مكتبة الشاملة
(فائدة) لو أخذ من غيره بطريق جائز ما ظن حله وهو حرام باطنا، فإن كان ظاهر المأخوذ منه الخير لم يطالب في الآخرة، وإلا طولب،
--------
(قوله بطريق جائر) كبيع وهبة (قوله: ما ظن حله) مفعول أخذ، أي أخذ شيأ يظن أنه حلال، وهو في الواقع ونفس الأمر حرام كأن يكون مغصوبا أو مسروقا (قوله: فإن كان ظاهر المأخوذ منه) هو البائع أو الواهب (وقوله: الخير) أي الصلاح (قوله: لم يطالب) أي الآخذ في الآخرة وهو جواب إن (قوله: وإلا طولب) أي وإن لم يكن ظاهر الخير والصلاح، بأن كان ظاهره الفجور والخيانة، طولب أي في الأخرة، وأما في الدنيا فلايطالب مطلقا، لأنه أخذه بطريق جائز،

MUJAWWIB: Muqit Ismunoer
LINK DISKUSI:
https://www.facebook.com/groups/230254130404633?view=permalink&id=476601339103243

134. PUASA: MEMBATALKAN PUASA SEBELUM MELAKUKAN JIMA' DI SIANG BULAN RAMADHAN.

PERTANYAAN:

Assalamualaikum...
Aku mau nanya seandainya ada suami istri teruz dibulan ROmadhan siangnya bersetubuh tapi pasangan tsb tdk puasa.
pertanyaannya. wajibkah pasangan tsb membyar kaffarat........?????
mho djwab ea ust.
SAIL: Uzan Poetra Mahendra
JAWABAN:
Jika sebelum melakukan hubungan intim (jima'/bersetubuh) membatalkan puasanya terlebih dahulu, maka tidak wajib bayar kaffarot.
Berdasarkan ketentuan dalam fiqih yang menyatakan bahwa kewajiban qodho' dan membayar kafaroh hanya berlaku bagi orang yang membatalkan puasanya dengan menggauli istrinya (jima') pada siang hari dan bagi orang yang membatalkan puasa dengan cara makan, maka orang tersebut hanya diwajibkan mengqodho' puasa yang ia tinggalkan dan tidak wajib membayar kaffaroh meskipun setelah puasanya batal ia menggauli istrinya.
Refrensi:
إعانة الطالبين (ج 2/ص 269-270)
ﻗﻮﻟﻪ: ﻭﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﺃﻓﺴﺪﻩ) ﺷﺮﻭﻉ ﻓﻴﻤﻦ ﺗﺠﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻜﻔﺎﺭﺓ ﺑﺴﺒﺐ ﺍﻻﻓﻄﺎﺭ ﺑﻤﻔﻄﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻔﻄﺮﺍﺕ ﺍﻟﺴﺎﺑﻘﺔ، ﻭﻫﻮ ﺍﻟﺠﻤﺎﻉ ﻓﻘﻂ، ﻟﻜﻦ ﺑﺸﺮﻭﻁ ﺫﻛﺮ ﺍﻟﻤﺆﻟﻒ ﺑﻌﻀﻬﺎ، ﻭﺣﺎﺻﻠﻬﺎ ﺗﺴﻌﺔ : ﺍﻻﻭﻝ ﻣﻨﻬﺎ: ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﻟﺠﻤﺎﻉ ﻣﻔﺴﺪﺍ ﻟﻠﺼﻮﻡ، ﺑﺄﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﻦ ﻋﺎﻣﺪ ﻣﺨﺘﺎﺭ ﻋﺎﻟﻢ ﺑﺘﺤﺮﻳﻤﻪ. ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ:ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻓﻲ ﺻﻮﻡ ﺭﻣﻀﺎﻥ. ﺍﻟﺜﺎﻟﺚ: ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﺍﻟﺬﻱ ﺃﻓﺴﺪﻩ ﺻﻮﻡ ﻧﻔﺴﻪ. ﺍﻟﺮﺍﺑﻊ: ﺃﻥ ﻳﻨﻔﺮﺩ ﺍﻻﻓﺴﺎﺩ ﺑﺎﻟﻮﻃﺊ. ﺍﻟﺨﺎﻣﺲ: ﺃﻥ ﻳﺴﺘﻤﺮ ﻋﻠﻰ ﺍﻻﻫﻠﻴﺔ ﻛﻞ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻟﺬﻱ ﺃﻓﺴﺪﻩ، ﻭﻳﻌﺒﺮ ﻋﻨﻪ ﺑﺄﻥ ﻳﻔﺴﺪ ﻳﻮﻣﺎ ﻛﺎﻣﻼ. ﺍﻟﺴﺎﺩﺱ: ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﺎ ﺃﻓﺴﺪﻩ ﻣﻦ ﺃﺩﺍﺀ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻳﻘﻴﻨﺎ. ﺍﻟﺴﺎﺑﻊ: ﺃﻥ ﻳﺄﺛﻢ ﺑﺠﻤﺎﻋﻪ. ﺍﻟﺜﺎﻣﻦ: ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺇﺛﻤﻪ ﺑﻪ ﻻﺟﻞ ﺍﻟﺼﻮﻡ. ﺍﻟﺘﺎﺳﻊ: ﻋﺪﻡ ﺍﻟﺸﺒﻬﺔ
الإقناع للشربيني (ج 1/ص 240)
ﻭﻣﻦ ﻭﻃﺊ ﻓﻲ ﻧﻬﺎﺭ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻋﺎﻣﺪﺍ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺮﺝ ﻓﻌﻠﻴﻪ ﺍﻟﻘﻀﺎﺀ ﻭﺍﻟﻜﻔﺎﺭﺓ ﻭﻫﻲ ﻋﺘﻖ ﺭﻗﺒﺔ ﻣﺆﻣﻨﺔ ﻓﺈﻥ ﻟﻢ ﻳﺠﺪ ﻓﺼﻴﺎﻡ ﺷﻬﺮﻳﻦ ﻣﺘﺘﺎﺑﻌﻴﻦ ﻓﺈﻥ ﻟﻢ ﻳﺴﺘﻄﻊ ﻓﺈﻃﻌﺎﻡ ﺳﺘﻴﻦ ﻣﺴﻜﻴﻨﺎ ﻟﻜﻞ ﻣﺴﻜﻴﻦ ﻣﺪ
.............................. ...............
ﻓﺨﺮﺝ ﺑﻘﻴﺪ ﺍﻟﻮﻁﺀ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﺑﻐﻴﺮﻩ ﻛﺎﻷﻛﻞ ﻭﺍﻟﺸﺮﺏ ﻭﺍﻻﺳﺘﻤﻨﺎﺀ ﻭﺍﻟﻤﺒﺎﺷﺮﺓ ﻓﻴﻤﺎ ﺩﻭﻥ ﺍﻟﻔﺮﺝ ﺍﻟﻤﻔﻀﻴﺔ ﺇﻟﻰ ﺍﻹﻧﺰﺍﻝ ﻓﻼ ﻛﻔﺎﺭﺓ ﺑﻪ –ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﻗﺎﻝ - ﻭﺑﺎﻟﺼﺎﺋﻢ ﻣﺎ ﻟﻮ ﺃﻓﻄﺮ ﺑﻐﻴﺮ ﻭﻁﺀ ﺛﻢ ﻭﻃﻰﺀ ﺃﻭ ﻧﺴﻲ ﺍﻟﻨﻴﺔ ﻭﺃﺻﺒﺢ ﻣﻤﺴﻜﺎ ﻭﻭﻃﻰﺀ ﻓﻼ ﻛﻔﺎﺭﺓ ﺣﻴﻨﺌﺬ
حاشية البجيرمي على الخطيب (ج 2/ص 390)
ﻗﻮﻟﻪ: (ﻭﺑﺎﻟﺼﺎﺋﻢ ﺇﻟﺦ) ﻟﻮ ﻗﺎﻝ ﻭﺑﺎﻟﺼﺎﺋﻢ ﻣﻦ ﻟﻴﺲ ﺻﺎﺋﻤﺎ ﻟﻜﺎﻥ ﺃﻭﻟﻰ ﻭﺃﺧﺼﺮ ﻕ ﻝ، ﺃﻱ ﻷﻧﻪ ﻳﺸﻤﻞ ﻣﻦ ﻛﺎﻥ ﻣﻔﻄﺮﺍ ﺃﻭﻝ ﺍﻟﻨﻬﺎﺭ. ﻗﻮﻟﻪ: (ﻣﺎ ﻟﻮ ﻭﻃﺊ) ﺃﻱ ﻭﻃﺌﺎ ﻣﺒﺎﺣﺎ. ﻗﻮﻟﻪ: (ﻭﻟﻮ ﺑﻐﻴﺮ ﻧﻴﺔ ﺍﻟﺘﺮﺧﺺ) ﻗﺎﻝ ﺷﻴﺨﻨﺎ ﻡ ﺩ: ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻐﺎﻳﺔ ﻏﻴﺮ ﻣﺴﺘﻘﻴﻤﺔ ﺍﻫـ. ﻭﻭﺟﻪ ﻋﺪﻡ ﺍﺳﺘﻘﺎﻣﺘﻬﺎ ﺃﻧﻪ ﺇﺫﺍ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ ﺍﻟﺘﺮﺧﺺ ﻳﻜﻮﻥ ﺁﺛﻤﺎ ﺑﺴﺒﺐ ﻋﺪﻡ ﻧﻴﺔ ﺍﻟﺘﺮﺧﺺ، ﻣﻊ ﺃﻥ ﻫﺬﺍ ﺧﺎﺭﺝ ﺑﺎﻹﺛﻢ ﻓﻼ ﻳﻨﺘﻔﻲ ﺍﻹﺛﻢ ﺇﻻ ﺇﺫﺍ ﻧﻮﻯ ﺍﻟﺘﺮﺧﺺ، ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻧﺖ ﺍﻟﻜﻔﺎﺭﺓ ﻣﻨﺘﻔﻴﺔ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﺣﺎﻝ؛ ﻓﻜﺎﻥ ﺍﻷﻭﻟﻰ ﺣﺬﻑ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻐﺎﻳﺔ ﺑﺄﻥ ﻳﻘﻮﻝ : ﺑﻨﻴﺔ ﺍﻟﺘﺮﺧﺺ. ﻭﻗﺎﻝ ﺑﻌﻀﻬﻢ: ﺇﻧﻬﺎ ﻟﻠﺮﺩ ﻋﻠﻰ ﻗﻮﻝ ﺿﻌﻴﻒ ﺣﻜﺎﻩ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻨﻬﺎﺝ، ﻭﻫﻮ ﺃﻥ ﻧﻴﺔ ﺍﻟﺘﺮﺧﺺ ﻟﻠﻤﺴﺎﻓﺮ ﻻ ﺑﺪ ﻣﻨﻬﺎ، ﻓﺈﺫﺍ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ ﺍﻟﺘﺮﺧﺺ ﻟﺰﻣﺘﻪ ﺍﻟﻜﻔﺎﺭﺓ ﻓﺘﺄﻣﻞ . ﻭﻳﺠﺎﺏ ﻋﻦ ﻛﻼﻣﻪ ﺑﺄﻥ ﻣﺮﺍﺩ ﺍﻟﺸﺎﺭﺡ ﺍﻵﺛﻢ ﻷﺟﻞ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﻭﺇﺫﺍ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ ﺍﻟﺘﺮﺧﺺ ﻳﻜﻮﻥ ﺇﺛﻤﻪ ﻟﻌﺪﻡ ﻧﻴﺔ ﺍﻟﺘﺮﺧﺺ ﻻ ﻟﻠﺼﻮﻡ، ﻭﻋﻠﻰ ﻫﺬﺍ ﺗﻜﻮﻥ ﺍﻟﻐﺎﻳﺔ ﻇﺎﻫﺮﺓ ﻭﻳﻜﻮﻥ ﻛﻼﻡ ﺍﻟﻤﺤﺸﻲ ﻏﻴﺮ ﻇﺎﻫﺮ
Mujawwib: PrEman Berr Tassbíihh
Link diskusi:
https://www.facebook.com/groups/230254130404633?view=permalink&id=475784582518252

133. MU'AMALAH: HUKUM MENABUNG UANG DI BANG KONFENSIONAL

133. MU'AMALAH: HUKUM MENABUNG UANG DI BANG KONFENSIONAL

PERTANYAAN:
Assalamu'alaikum wrwb
para sahabat ini mau tanya..
Gimana hukumnya menyimpan uang di bank dgn cara deposito ??
Trm ksh wslm
JAWABAN:
Wa Alaikum Salam. Wr. Wb.
Istilah menyimpan uang mempunyai arti menitipkan atau menghutangkan. Menyimpan di bank tidak bisa diartikan menitipkan, karena dalam akad titipan (wadi’ah), pihak yang dititipi tidak boleh menggunakan atau mentasharrufkan barang titipan. Berbeda dengan akad hutang (qardh), orang yang dihutangi boleh menggunakan barang hutangan sebagaimana yang dilakukan bank pada uang para nasabahnya.
Hukum menyimpan uang di bank bisa diperinci sebagai berikut :
1. Jika bertujuan mendapatkan bunga, seperti tidak mau untuk menyetorkan uang kecuali jika mendapatkan bunga, maka ulama’ sepakat hukumnya haram karena tergolong riba. Allah SWT berfirman:
ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﺄْﻛُﻠُﻮﻥَ ﺍﻟﺮِّﺑَﺎ ﻟَﺎ ﻳَﻘُﻮﻣُﻮﻥَ ﺇِﻟَّﺎ ﻛَﻤَﺎ ﻳَﻘُﻮﻡُ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻳَﺘَﺨَﺒَّﻄُﻪُ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤَﺲِّ ﺫَﻟِﻚَ ﺑِﺄَﻧَّﻬُﻢْ ﻗَﺎﻟُﻮﺍ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺍﻟْﺒَﻴْﻊُ ﻣِﺜْﻞُ ﺍﻟﺮِّﺑَﺎ ﻭَﺃَﺣَﻞَّ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺍﻟْﺒَﻴْﻊَ ﻭَﺣَﺮَّﻡَ ﺍﻟﺮِّﺑَﺎ ﻓَﻤَﻦْ ﺟَﺎﺀَﻩُ ﻣَﻮْﻋِﻈَﺔٌ ﻣِﻦْ ﺭَﺑِّﻪِ ﻓَﺎﻧْﺘَﻬَﻰ ﻓَﻠَﻪُ ﻣَﺎ ﺳَﻠَﻒَ ﻭَﺃَﻣْﺮُﻩُ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﻣَﻦْ ﻋَﺎﺩَ ﻓَﺄُﻭﻟَﺌِﻚَ ﺃَﺻْﺤَﺎﺏُ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ ﻫُﻢْ ﻓِﻴﻬَﺎ ﺧَﺎﻟِﺪُﻭﻥَ
Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang- orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Q.S Al-Baqarah / 275).
2. Jika bertujuan keamanan, tanpa ada keinginan mendapatkan bunga, maka hukumnya boleh. Namun perlu diperhatikan, bahwa kegiatan bank dalam mengembangkan setoran nasabah tidak terlepas dari unsur riba walaupun masih ada kegiatan lain yang halal menurut syari’at. Karena itu jika benar-benar uang simpanan kita digunakan untuk kegiatan yang bersifat riba berarti kita telah membantu bank melakukan hal yang haram, sedangkan membantu perbuatan dosa adalah sama dengan berbuat dosa. Dengan alasan ini, haram menyimpan uang di bank.
3. Hendaknya menghindari bermu’amalah dengan bank, kecuali dalam keadaan yang sangat mendesak seperti tidak adanya tempat untuk menyimpan yang aman selain bank atau tidak bisa menjalankan usahanya kecuali dengan perantara bank, maka diperbolehkan.
5. Transfer uang via bank hukumnya boleh dan bisa dikategorikan dua akad: Pertama, termasuk akad hawalah (pemindahan hutang) dengan pengirim sebagai muhil, bank sebagai muhal alaih, dan penerima sebagai muhtal apabila ada transaksi pembayaran dari pengirim ke penerima. Kedua, bank berstatus sebagai pihak yang diamanati untuk menyampaikan uang pada penerima. Bank boleh menggunakan uang tersebut dan mengambil keuntungan dengan uang itu dengan syarat mendapatkan izin dari pihak pengirim. Uang kiriman di sini disamakan dengan hutang (qardh) bank pada pengirim, karena itu bank harus melunasinya kepada orang yang dituju pengirim (penerima). Kategori kedua ini bank dinyatakan sebagai dhamin (pengganti).
6. Menggunakan ATM hukumnya mengacu pada penyimpanan uang di bank dikarenakan pengguna ATM harus menanam tabungan terlebih dahulu. Adapun transfer dengan setoran tunai, maka boleh dengan catatan tidak terjadi riba. Dan uang yang bercampur dengan uang riba di bank tidak dihukumi haram. Hutang kepada bank karena ada unsur riba dinyatakan haram tanpa pengecualian (darurat atau tidak).
7. Pegawai bank dan penerima hadiah dari bank, hukumnya sebagaimana bermu’amalah dengan orang yang kebanyakan hartanya haram, perinciannya sebagai berikut :
a. Haram, jika mengetahui dengan yakin bahwa barang yang diterima dari bank adalah hasil riba.
b. Makruh, jika ragu-ragu akan kehalalan dan keharamannya.
Namun menurut pendapat Imam Al-Ghozali haram secara mutlak.
REFRENSI:
ﻓﺘﺢ ﺍﻟﻤﻌﻴﻦ –(ﺝ / 3 ﺹ 64)
ﻭ( ﺟﺎﺯ ﻟﻤﻘﺮﺽ )ﻧﻔﻊ( ﻳﺼﻞ ﻟﻪ ﻣﻦ ﻣﻘﺘﺮﺽ، ﻛﺮﺩ ﺍﻟﺰﺍﺋﺪ ﻗﺪﺭﺍ ﺃﻭ ﺻﻔﺔ، ﻭﺍﻻﺟﻮﺩ ﻓﻲ ﺍﻟﺮﺩﺉ )ﺑﻼ ﺷﺮﻁ( ﻓﻲ ﺍﻟﻌﻘﺪ، ﺑﻞ ﻳﺴﻦ ﺫﻟﻚ ﻟﻤﻘﺘﺮﺽ، ﻟﻘﻮﻟﻪ )ﺹ:( ﺇﻥ ﺧﻴﺎﺭﻛﻢ: ﺃﺣﺴﻨﻜﻢ ﻗﻀﺎﺀ ﻭﻻ ﻳﻜﺮﻩ ﻟﻠﻤﻘﺮﺽ ﺃﺧﺬﻩ، ﻛﻘﺒﻮﻝ ﻫﺪﻳﺘﻪ، ﻭﻟﻮ ﻓﻲ ﺍﻟﺮﺑﻮﻱ.ﻭﺍﻻﻭﺟﻪ ﺃﻥ ﺍﻟﻤﻘﺮﺽ ﻳﻤﻠﻚ ﺍﻟﺰﺍﺋﺪ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﻟﻔﻆ، ﻻﻧﻪ ﻭﻗﻊ ﺗﺒﻌﺎ، ﻭﺃﻳﻀﺎ ﻓﻬﻮ ﻳﺸﺒﻪ ﺍﻟﻬﺪﻳﺔ، ﻭﺃﻥ ﺍﻟﻤﻘﺘﺮﺽ ﺇﺫﺍ ﺩﻓﻊ ﺃﻛﺜﺮ ﻣﻤﺎ ﻋﻠﻴﻪ، ﻭﺍﺩﻋﻰ ﺃﻧﻪ ﺇﻧﻤﺎ ﺩﻓﻊ ﺫﻟﻚ ﻇﻨﺎ ﺃﻧﻪ ﺍﻟﺬﻱ ﻋﻠﻴﻪ: ﺣﻠﻒ، ﻭﺭﺟﻊ ﻓﻴﻪ.ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﻘﺮﺽ ﺑﺸﺮﻁ ﺟﺮ ﻧﻔﻊ ﻟﻤﻘﺮﺽ ﻓﻔﺎﺳﺪ، ﻟﺨﺒﺮ ﻛﻞ ﻗﺮﺽ ﺟﺮ ﻣﻨﻔﻌﺔ، ﻓﻬﻮ ﺭﺑﺎ ﻭﺟﺒﺮ ﺿﻌﻔﻪ: ﻣﺠﺊ ﻣﻌﻨﺎﻩ ﻋﻦ ﺟﻤﻊ ﻣﻦ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ
ﺇﻋﺎﻧﺔ ﺍﻟﻄﺎﻟﺒﻴﻦ –(ﺝ / 3 ﺹ 65)
ﻗﻮﻟﻪ: ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﻘﺮﺽ ﺑﺸﺮﻁ ﺇﻟﺦ( ﻣﺤﺘﺮﺯ ﻗﻮﻟﻪ ﺑﻼ ﺷﺮﻁ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﻘﺪ. )ﻗﻮﻟﻪ: ﺟﺮ ﻧﻔﻊ ﻟﻤﻘﺮﺽ( ﺃﻱ ﻭﺣﺪﻩ، ﺃﻭ ﻣﻊ ﻣﻘﺘﺮﺽ – ﻛﻤﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﻬﺎﻳﺔ – )ﻗﻮﻟﻪ: ﻓﻔﺎﺳﺪ( ﻗﺎﻝ ﻉ ﺵ: ﻭﻣﻌﻠﻮﻡ ﺃﻥ ﻣﺤﻞ ﺍﻟﻔﺴﺎﺩ ﺣﻴﺚ ﻭﻗﻊ ﺍﻟﺸﺮﻁ ﻓﻲ ﺻﻠﺐ ﺍﻟﻌﻘﺪ.ﺃﻣﺎ ﻟﻮ ﺗﻮﺍﻓﻘﺎ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﻭﻟﻢ ﻳﻘﻊ ﺷﺮﻁ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﻘﺪ، ﻓﻼ ﻓﺴﺎﺩ.ﺍﻩ.ﻭﺍﻟﺤﻜﻤﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺴﺎﺩ ﺃﻥ ﻣﻮﺿﻮﻉ ﺍﻟﻘﺮﺽ: ﺍﻻﺭﻓﺎﻕ، ﻓﺈﺫﺍ ﺷﺮﻁ ﻓﻴﻪ ﻟﻨﻔﺴﻪ ﺣﻘﺎ: ﺧﺮﺝ ﻋﻦ ﻣﻮﺿﻮﻋﻪ ﻓﻤﻨﻊ ﺻﺤﺘﻪ) .ﻗﻮﻟﻪ: ﺟﺮ ﻣﻨﻔﻌﺔ( ﺃﻱ ﺷﺮﻁ ﻓﻴﻪ ﺟﺮ ﻣﻨﻔﻌﺔ. )ﻗﻮﻟﻪ: ﻓﻬﻮ ﺭﺑﺎ( ﺃﻱ ﺭﺑﺎ ﺍﻟﻘﺮﺽ، ﻭﻫﻮ ﺣﺮﺍﻡ
ﺍﻷﺷﺒﺎﻩ ﻭﺍﻟﻨﻈﺎﺋﺮ –(ﺝ / 1 ﺹ 175)
ﺍﻟْﻤَﺒْﺤَﺚُ ﺍﻟﺜَّﺎﻟِﺚُ ﺍﻟْﻌَﺎﺩَﺓُ ﺍﻟْﻤُﻄَّﺮِﺩَﺓُ ﻓِﻲ ﻧَﺎﺣِﻴَﺔٍ ، ﻫَﻞْ ﺗُﻨَﺰَّﻝُ ﻋَﺎﺩَﺗُﻬُﻢْ ﻣَﻨْﺰِﻟَﺔَ ﺍﻟﺸَّﺮْﻁِ ، ﻓِﻴﻪِ ﺻُﻮَﺭٌ ﻣِﻨْﻬَﺎ : ﻟَﻮْ ﺟَﺮَﺕْ ﻋَﺎﺩَﺓُ ﻗَﻮْﻡٍ ﺑِﻘَﻄْﻊِ ﺍﻟْﺤِﺼْﺮِﻡِ ﻗَﺒْﻞَ ﺍﻟﻨُّﻀْﺞِ ، ﻓَﻬَﻞْ ﺗُﻨَﺰَّﻝُ ﻋَﺎﺩَﺗُﻬُﻢْ ﻣَﻨْﺰِﻟَﺔَ ﺍﻟﺸَّﺮْﻁِ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺼِﺢَّ ﺑَﻴْﻌُﻪُ ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِ ﺷَﺮْﻁِ ﺍﻟْﻘَﻄْﻊِ . ﻭَﺟْﻬَﺎﻥِ ، ﺃَﺻَﺤُّﻬُﻤَﺎ : ﻟَﺎ ﻭَﻗَﺎﻝَ ﺍﻟْﻘَﻔَّﺎﻝُ : ﻧَﻌَﻢْ . ﻭَﻣِﻨْﻬَﺎ : ﻟَﻮْ ﻋَﻢَّ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﺍﻋْﺘِﻴَﺎﺩُ ﺇﺑَﺎﺣَﺔِ ﻣَﻨَﺎﻓِﻊِ ﺍﻟﺮَّﻫْﻦِ ﻟِﻠْﻤُﺮْﺗَﻬِﻦِ ﻓَﻬَﻞْ ﻳُﻨَﺰَّﻝُ ﻣَﻨْﺰِﻟَﺔَ ﺷَﺮْﻃِﻪِ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﻔْﺴُﺪَ ﺍﻟﺮَّﻫْﻦُ ، ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟْﺠُﻤْﻬُﻮﺭُ : ﻟَﺎ ، ﻭَﻗَﺎﻝَ ﺍﻟْﻘَﻔَّﺎﻝُ : ﻧَﻌَﻢْ . ﻭَﻣِﻨْﻬَﺎ : ﻟَﻮْ ﺟَﺮَﺕْ ﻋَﺎﺩَﺓُ ﺍﻟْﻤُﻘْﺘَﺮِﺽِ ﺑِﺮَﺩِّ ﺃَﺯْﻳَﺪَ ﻣِﻤَّﺎ ﺍﻗْﺘَﺮَﺽَ ، ﻓَﻬَﻞْ ﻳُﻨَﺰَّﻝُ ﻣَﻨْﺰِﻟَﺔَ ﺍﻟﺸَّﺮْﻁِ ، ﻓَﻴَﺤْﺮُﻡُ ﺇﻗْﺮَﺍﺿُﻪُ ﻭَﺟْﻬَﺎﻥِ ، ﺃَﺻَﺤُّﻬُﻤَﺎ : ﻟَﺎ
ﻓﻴﺾ ﺍﻟﻘﺪﻳﺮ –(ﺝ / 5 ﺹ 342 )
ﻟﻌﻦ ﺍﻟﻠﻪ( ﺁﻛﻞ )ﺍﻟﺮﺑﺎ( ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ : ﺍﻟﺮﺑﺎ ﻓﻲ ﺍﻷﺻﻞ ﺍﻟﺰﻳﺎﺩﺓ ﻧﻘﻞ ﺇﻟﻰ ﻣﺎ ﻳﺆﺧﺬ ﺯﺍﺋﺪﺍ ﻋﻠﻲ ﻣﺎ ﺑﺬﻝ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻌﺎﻣﻼﺕ ﻭﺇﻟﻰ ﺍﻟﻌﻘﺪ ﺍﻟﻤﺸﺘﻤﻞ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﺑﻪ ﻫﻨﺎ ﺍﻟﻘﺪﺭ ﺍﻟﺰﺍﺋﺪ )ﻭﺁﻛﻠﻪ( ﻣﺘﻨﺎﻭﻟﻪ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺤﺮﺍﻟﻲ : ﻋﺒﺮ ﺑﺎﻷﻛﻞ ﻋﻦ ﺍﻟﻤﺘﻨﺎﻭﻝ ﻷﻧﻪ ﺃﻛﺒﺮ ﺍﻟﻤﻘﺎﺻﺪ ﻭﺃﺿﺮﻫﺎ ﻭﻳﺠﺮﻱ ﻣﻦ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ ﻣﺠﺮﻯ ﺍﻟﺪﻡ )ﻭﻣﻮﻛﻠﻪ( ﻣﻌﻄﻴﻪ ﻭﻣﻄﻌﻤﻪ )ﻭﻛﺎﺗﺒﻪ ﻭﺷﺎﻫﺪﻩ( ﻭﺍﺳﺘﺤﻘﺎﻗﻬﻤﺎ ﺍﻟﻠﻌﻦ ﻣﻦ ﺣﻴﺚ ﺭﺿﺎﻫﻤﺎ ﺑﻪ ﻭﺇﻋﺎﻧﺘﻬﻤﺎ ﻋﻠﻴﻪ )ﻭﻫﻢ( ﺃﻱ ﻭﺍﻟﺤﺎﻝ ﺃﻧﻬﻢ )ﻳﻌﻠﻤﻮﻥ( ﺃﻧﻪ ﺭﺑﺎ ﻷﻥ ﻣﻨﻬﻢ ﺍﻟﻤﺒﺎﺷﺮ ﻟﻠﻤﻌﺼﻴﺔ ﻭﺍﻟﻤﺘﺴﺒﺐ ﻭﻛﻼﻫﻤﺎ ﺁﺛﻢ ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ ﺑﺎﻟﻤﺒﺎﺷﺮﺓ ﻭﺍﻵﺧﺮ ﺑﺎﻟﺴﺒﺒﻴﺔ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺬﻫﺒﻲ : ﻭﻟﻴﺲ ﺇﺛﻢ ﻣﻦ ﺍﺳﺘﺪﺍﻥ ﻣﺤﺘﺎﺟﺎ ﻟﺮﺑﺎ ﻛﺈﺛﻢ ﺍﻟﻤﺮﺍﺑﻲ ﺍﻟﻐﻨﻲ ﺑﻞ ﺩﻭﻧﻪ ﻭﺍﺷﺘﺮﻛﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﻮﻋﻴﺪ )ﻭﺍﻟﻮﺍﺻﻠﺔ( ﺷﻌﺮﻫﺎ ﺑﺸﻌﺮ ﺃﺟﻨﺒﻲ ﻭﻟﻮ ﺃﻧﺜﻰ ﻣﺜﻠﻬﺎ
ﺇﻋﺎﻧﺔ ﺍﻟﻄﺎﻟﺒﻴﻦ –(ﺝ / 3 ﺹ 26)
)ﻗﻮﻟﻪ: ﻻ ﻳﻨﺪﻓﻊ ﺇﺛﻢ ﺇﻋﻄﺎﺀ ﺍﻟﺮﺑﺎ( ﺃﻱ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻌﻄﻲ ﺍﻟﺬﻱ ﻫﻮ ﺍﻟﻤﻘﺘﺮﺽ. )ﻗﻮﻟﻪ: ﻋﻨﺪ ﺍﻻﻗﺘﺮﺍﺽ( ﻣﺘﻌﻠﻖ ﺑﻴﻨﺪﻓﻊ، ﻭﻟﻴﺲ ﻣﺘﻌﻠﻘﺎ ﺑﺈﻋﻄﺎﺀ، ﻻﻥ ﺍﻻﻋﻄﺎﺀ ﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﺇﻻ ﻋﻨﺪ ﺩﻓﻊ ﻣﺎ ﺍﻗﺘﺮﺿﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﺪﺭﺍﻫﻢ ﻣﺜﻼ).ﻭﻗﻮﻟﻪ: ﻟﻠﻀﺮﻭﺭﺓ( ﻣﺘﻌﻠﻖ ﺑﺎﻗﺘﺮﺍﺽ، ﺃﻭ ﺑﺈﻋﻄﺎﺀ. ﻭﺍﻟﺜﺎﻧﻲ ﻫﻮ ﻇﺎﻫﺮ ﺍﻟﺘﺼﻮﻳﺮ ﺑﻌﺪﻩ) .ﻗﻮﻟﻪ: ﺑﺤﻴﺚ ﺇﻟﺦ( ﺗﺼﻮﻳﺮ ﻻﻋﻄﺎﺀ ﺫﻟﻚ، ﻻﺟﻞ ﺍﻟﻀﺮﻭﺭﺓ. )ﻭﻗﻮﻟﻪ: ﺃﻧﻪ( ﺃﻱ ﺍﻟﻤﻘﺘﺮﺽ) .ﻭﻗﻮﻟﻪ: ﻻ ﻳﺤﺼﻞ ﻟﻪ ﺍﻟﻘﺮﺽ( ﺃﻱ ﻻ ﻳﻘﺮﺿﻪ ﺻﺎﺣﺐ ﺍﻟﻤﺎﻝ).ﻗﻮﻟﻪ: ﺇﺫ ﻟﻪ ﺇﻟﺦ( ﺗﻌﻠﻴﻞ ﻟﻌﺪﻡ ﺍﻧﺪﻓﺎﻉ ﺇﺛﻢ ﺍﻻﻋﻄﺎﺀ ﻋﻨﺪ ﺫﻟﻚ، ﺃﻱ ﻻ ﻳﻨﺪﻓﻊ ﺫﻟﻚ، ﻻﻥ ﻟﻪ ﻃﺮﻳﻘﺎ ﻓﻲ ﺇﻳﺼﺎﻝ ﺍﻟﺰﺍﺋﺪ ﻟﻠﻤﻘﺮﺽ ﺑﻨﺬﺭ، ﺃﻭ ﻫﺒﺔ، ﺃﻭ ﻧﺤﻮﻫﻤﺎ).ﻭﻗﻮﻟﻪ: ﺃﻭ ﺍﻟﺘﻤﻠﻴﻚ( ﺃﻱ ﺑﻬﺒﺔ، ﺃﻭ ﻫﺪﻳﺔ، ﺃﻭ ﺻﺪﻗﺔ) .ﻗﻮﻟﻪ: ﻻ ﺳﻴﻤﺎ( ﺃﻱ ﺧﺼﻮﺻﺎ )ﻗﻮﻟﻪ: ﻻ ﻳﺤﺘﺎﺝ ﺇﻟﻰ ﻗﺒﻮﻝ(ﺃﻱ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻨﺬﻭﺭ ﻟﻪ) .ﻗﻮﻟﻪ: ﻭﻗﺎﻝ ﺷﻴﺨﻨﺎ( ﻟﻌﻠﻪ ﻓﻲ ﻏﻴﺮ ﺍﻟﺘﺤﻔﺔ ﻭﻓﺘﺢ ﺍﻟﺠﻮﺍﺩ )ﻗﻮﻟﻪ: ﻳﻨﺪﻓﻊ ﺍﻻﺛﻢ( ﺃﻱ ﺇﺛﻢ ﺇﻋﻄﺎﺀ ﺍﻟﺰﻳﺎﺩﺓ) .ﻭﻗﻮﻟﻪ: ﻟﻠﻀﺮﻭﺭﺓ( ﺃﻱ ﻻﺟﻞ ﺿﺮﻭﺭﺓ ﺍﻻﻗﺘﺮﺍﺽ )ﻗﻮﻟﻪ: ﻭﻃﺮﻳﻖ ﺍﻟﺨﻼﺹ ﻣﻦ ﻋﻘﺪ. ﺇﻟﺦ( ﺃﻱ ﺍﻟﺤﻴﻠﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﺘﺨﻠﺺ ﻣﻦ ﻋﻘﺪ ﺍﻟﺮﺑﺎ ﻓﻲ ﺑﻴﻊ ﺍﻟﺮﺑﻮﻱ ﺑﺠﻨﺴﻪ ﻣﻊ ﺍﻟﺘﻔﺎﺿﻞ ﻣﺎ ﺫﻛﺮﻩ.ﻭﻫﻲ ﻣﻜﺮﻭﻫﺔ ﺑﺴﺎﺋﺮ ﺃﻧﻮﺍﻋﻪ – ﺧﻼﻓﺎ ﻟﻤﻦ ﺣﺼﺮ ﺍﻟﻜﺮﺍﻫﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﺘﺨﻠﺺ ﻣﻦ ﺭﺑﺎ ﺍﻟﻔﻀﻞ – ﻭﻣﺤﺮﻣﺔ ﻋﻨﺪ ﺍﻻﺋﻤﺔ ﺍﻟﺜﻼﺛﺔ
ﺇﻋﺎﻧﺔ ﺍﻟﻄﺎﻟﺒﻴﻦ –(ﺝ / 3 ﺹ 21)
ﻗﻮﻟﻪ: ﻵﻛﻞ ﺍﻟﺮﺑﺎ( ﻫﻮ ﻣﺘﻨﺎﻭﻟﻪ ﺑﺄﻱ ﻭﺟﻪ ﻛﺎﻥ، ﻭﺍﻋﺘﺮﺽ ﺑﺄﻧﻪ ﺇﻥ ﺃﺭﺍﺩ ﺑﺎﻟﺮﺑﺎ ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ ﺍﻟﻠﻐﻮﻱ – ﻭﻫﻮ ﺍﻟﺰﻳﺎﺩﺓ – ﻓﻼ ﻳﺼﺢ، ﻟﻘﺼﻮﺭﻩ ﻋﻠﻰ ﺭﺑﺎ ﺍﻟﻔﻀﻞ. ﻭﺃﻳﻀﺎ ﻳﻘﺘﻀﻲ ﺃﻥ ﺍﻟﻠﻌﻦ ﻋﻠﻰ ﺁﻛﻞ ﺍﻟﺰﻳﺎﺩﺓ ﻓﻘﻂ، ﺩﻭﻥ ﺑﺎﻗﻲ ﺍﻟﻌﻮﺽ. ﻭﺇﻥ ﺃﺭﻳﺪ ﺑﺎﻟﺮﺑﺎ ﺍﻟﻌﻘﺪ، ﻓﻐﻴﺮ ﻇﺎﻫﺮ، ﻻﻧﻪ ﻻ ﻣﻌﻨﻰ ﻻﻛﻞ ﺍﻟﻌﻘﺪ ﻭﺃﺟﻴﺐ ﺑﺎﺧﺘﻴﺎﺭ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ، ﻭﻫﻮ ﻋﻠﻰ ﺗﻘﺪﻳﺮ ﻣﻀﺎﻑ، ﻭﺍﻟﺘﻘﺪﻳﺮ: ﺁﻛﻞ ﻣﺘﻌﻠﻖ ﺍﻟﺮﺑﺎ، ﻭﻫﻮ ﺍﻟﻌﻮﺽ.ﺍﻩ.ﺑﺠﻴﺮﻣﻲ) .ﻗﻮﻟﻪ: ﻭﻣﻮﻛﻠﻪ( ﻫﻮ ﺍﻟﺪﺍﻓﻊ ﻟﻠﺰﻳﺎﺩﺓ) .ﻗﻮﻟﻪ: ﻭﻛﺎﺗﺒﻪ( ﺃﻱ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻜﺘﺐ ﺍﻟﻮﺛﻴﻘﺔ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﻤﺮﺍﺑﻴﻦ، ﻭﺃﺳﻘﻂ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ: ﺍﻟﺸﺎﻫﺪ، ﻭﻛﺎﻥ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻥ ﻳﺼﺮﺡ ﺑﻪ
ﺣﺎﺷﻴﺔ ﺍﻟﺠﻤﻞ – (ﺝ 13 /ﺹ104)
ﺑَﺎﺏُ ﺍﻟْﺤَﻮَﺍﻟَﺔِ ( ﻫِﻲَ ﺑِﻔَﺘْﺢِ ﺍﻟْﺤَﺎﺀِ ﺃَﻓْﺼَﺢُ ﻣِﻦْ ﻛَﺴْﺮِﻫَﺎ ﻟُﻐَﺔً : ﺍﻟﺘَّﺤَﻮُّﻝُ ﻭَﺍﻟِﺎﻧْﺘِﻘَﺎﻝُ ، ﻭَﺷَﺮْﻋًﺎ : ﻋَﻘْﺪٌ ﻳَﻘْﺘَﻀِﻲ ﻧَﻘْﻞَ ﺩَﻳْﻦٍ ﻣِﻦْ ﺫِﻣَّﺔٍ ﺇﻟَﻰ ﺫِﻣَّﺔٍ ، ﻭَﺗُﻄْﻠَﻖُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻧْﺘِﻘَﺎﻟِﻪِ ﻣِﻦْ ﺫِﻣَّﺔٍ ﺇﻟَﻰ ﺃُﺧْﺮَﻯ ﻭَﺍﻟْﺄَﺻْﻞُ ﻓِﻴﻬَﺎ ﻗَﺒْﻞَ ﺍﻟْﺈِﺟْﻤَﺎﻉِ ﺧَﺒَﺮُ ﺍﻟﺼَّﺤِﻴﺤَﻴْﻦِ } ﻣَﻄْﻞُ ﺍﻟْﻐَﻨِﻲِّ ﻇُﻠْﻢٌ ﻭَﺇِﺫْ ﺃُﺗْﺒِﻊَ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻠِﻲﺀٍ ﻓَﻠْﻴَﺘْﺒَﻊْ { ﺑِﺈِﺳْﻜَﺎﻥِ ﺍﻟﺘَّﺎﺀِ ﺃَﻱْ ﻓَﻠْﻴَﺤْﺘَﻞْ ﻛَﻤَﺎ ﺭَﻭَﺍﻩُ ﻫَﻜَﺬَﺍ ﺍﻟْﺒَﻴْﻬَﻘِﻲُّ ) ﺃَﺭْﻛَﺎﻧُﻬَﺎ ( ﺳِﺘَّﺔٌ ) ﻣُﺤِﻴﻞٌ ﻭَﻣُﺤْﺘَﺎﻝٌ ﻭَﻣُﺤَﺎﻝٌ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺩَﻳْﻨَﺎﻥِ ( ﺩَﻳْﻦٌ ﻟِﻠْﻤُﺤْﺘَﺎﻝِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤُﺤِﻴﻞِ ﻭَﺩَﻳْﻦٌ ﻟِﻠْﻤُﺤِﻴﻞِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤُﺤَﺎﻝِ ﻋَﻠَﻴْﻪِ
ﺑﻐﻴﺔ ﺍﻟﻤﺴﺘﺮﺷﺪﻳﻦ ﺹ149
ﺃﻓﺘﻰ ﻣﺤﻤﺪ ﺻﺎﻟﺢ ﺍﻟﺮﻳﺲ ﻓﻴﻤﻦ ﺃَﺭﺳَﻞ ﻣﻊ ﻏﻴﺮﻩ ﺩﺭﺍﻫﻢ ﺃﻣﺎﻧﺔ ﻳﻮﺻﻠﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﻣﺤﻞ ﺁﺧﺮ ﻭﺃﺫﻥ ﻟﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﺘﺼﺮﻑ ﻓﻴﻬﺎ ﺑﺄﺧﺬ ﺑﻀﺎﻋﺔ ﻭﻣﺎ ﻇﻬﺮ ﻓﻴﻬﺎ ﻣﻦ ﺭﺑﺢ ﻳﻜﻮﻥ ﻟﻸﻣﻴﻦ ﻓﻲ ﻣﻘﺎﺑﻠﺔ ﺣﻤﻠﻪ ﺍﻟﺪﺭﺍﻫﻢ ﻭﺇﻋﻄﺎﺋﻬﺎ ﺍﻟﻤﺮﺳﻞ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻷﺟﺮﻩ ﻷﻧﻪ ﺇﻥ ﻛﺎﻧﺖ ﺍﻟﺪﺭﺍﻫﻢ ﺍﻟﻤﺬﻛﻮﺭﺓ ﻣﻠﻜﺎ ﻟﻠﻤﺮﺳِﻞ ﻭﺃﺫﻥ ﻛﺬﻟﻚ ﺟﺎﺯ ﻭﻛﺎﻥ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ﺿﺎﻣﻨﺎ ﻭﺣﻜﻤﻪ ﺣﻜﻢ ﺍﻟﻘﺮﺽ ﺣﺘﻰ ﺗﺼﻞ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻤﺮﺳﻞ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﺗﻜﻦ ﻣﻠﻜﻪ ﻭﻟﻢ ﻳﺄﺫﻥ ﻣﺎﻟﻜﻬﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﺘﺼﺮﻑ ﻟﻢ ﻳﺠﺰﻩ ﺫﻟﻚ ﺑﻞ ﻳﻀﻤﻨﻬﺎ ﺍﻟﺤﺎﻣﻞ ﺿﻤﺎﻥ ﻏﺼﺐ ﻭﺍﻟﻤﺮﺳﻞ ﻃﺮﻳﻖ ﻓﻲ ﺍﻟﻀﻤﺎﻥ ﻟﻮ ﺗﻠﻔﺖ
ﺍﻟﻔﻘﻪ ﺍﻟﻤﻨﻬﺠﻲ (ج 3/ص173)
ﺍﻟﺤﻮﺍﻟﺔ ﺍﻟﺒﺮﻳﺪﻳﺔ : ﺍﺫﺍ ﺍﻋﻄﻰ ﺍﻧﺴﺎﻥ ﺁﺧﺮ ﻣﺒﻠﻐﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺎﻝ ﻟﻴﺪﻓﻌﻪ ﺍﻟﻰ ﻓﻼﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻓﻲ ﺑﻠﺪ ﻛﺬﺍ : - ﻓﺎﻥ ﺍﻋﻄﺎﻩ ﺍﻳﺎﻩ ﺍﻣﺎﻧﺔ ﺟﺎﺯ ﺑﻼ ﻛﺮﺍﻫﺔ، ﻭﻻ ﻳﻀﻤﻨﻪ ﺍﻟﻨﺎﻗﻞ ﺍﺫﺍ ﻟﻢ ﻳﻘﺼﺮ ﻓﻲ ﺣﻔﻈﻪ ﻭﻟﻢ ﻳﺨﻠﻄﻪ ﻣﻊ ﻣﺎﻟﻪ، ﻭﺍﻥ ﺧﻠﻄﻪ ﺑﻤﺎﻟﻪ ﻛﺎﻥ ﺿﺎﻣﻨﺎ ﻟﻪ. ﻭﻣﻦ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻘﺒﻴﻞ ﻣﺎ ﻳﺴﻤﻰ ﺍﻵﻥ ﺑﺎﻟﺤﻮﺍﻟﺔ ﺍﻟﺒﺮﻳﺪﻳﺔ، ﻓﺎﻥ ﺍﻟﻤﺒﺎﻟﻎ ﺍﻟﺘﻲ ﻳﺪﻓﻌﻬﺎ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻟﻤﺆﺳﺴﺔ ﺍﻟﺒﺮﻳﺪ ﻟﺘﻮﺻﻠﻬﺎ ﺍﻟﻰ ﺍﺷﺨﺎﺹ ﻣﻌﻴﻨﻴﻦ ﻳﺨﺎﻁ ﺑﻌﻀﻬﺎ ﺑﺒﻌﺾ ﻭﺑﻐﻴﺮﻫﺎ، ﻭﻻ ﺗﺪﻓﻊ ﻫﻲ ﺑﺬﺍﺗﻬﺎ ﻟﻠﻤﺤﻤﻮﻟﺔ ﺍﻟﻴﻪ. ﻭﻟﺬﻟﻚ ﻓﻬﻲ ﻣﻀﻤﻮﻧﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺆﺳﺴﺔ. - ﻭﺍﺫﺍ ﺍﻋﻄﺎﻩ ﺍﻳﺎﻩ ﻗﺮﺿﺎ، ﺩﻭﻥ ﺍﻥ ﻳﺸﺮﻁ ﻋﻠﻴﻪ ﺩﻓﻌﻬﺎ ﺍﻟﻰ ﻓﻼﻥ ﻓﻲ ﺑﻠﺪ ﻛﺬﺍ ﺛﻢ ﻃﻠﺐ ﻣﻨﻪ ﺫﻟﻚ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻘﺮﺽ، ﺟﺎﺯ ﺍﻳﻀﺎ ﻭﻻ ﻛﺮﺍﻫﺔ. ﻓﺎﺫﺍ ﺍﻋﻄﺎﻩ ﺍﻳﺎﻫﺎ ﻗﺮﺿﺎ ﺑﺸﺮﻁ ﺍﻥ ﻳﺪﻓﻌﻬﺎ ﺍﻟﻰ ﻓﻼﻥ ﻓﻲ ﺑﻠﺪ ﻛﺬﺍ، ﻛﺎﻥ ﻛﺸﺮﻁ ﺍﻷﺟﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﺮﺽ : - ﺍﻥ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻟﻠﻤﻘﺮﺽ ﻓﻴﻪ ﻏﺮﺽ ﺻﺢ ﺍﻟﻘﺮﺽ ﻭﻟﻐﺎ ﺍﻟﺸﺮﻁ، ﻭﺍﻥ ﻛﺎﻥ ﻳﻨﺪﺏ ﺍﻟﻮﻓﺎﺀ ﺑﻪ. - ﻭﺍﻥ ﻛﺎﻥ ﻟﻠﻤﻘﺮﺽ ﻏﺮﺽ ﻓﻴﻪ، ﻛﻤﺎ ﺍﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﻄﺮﻳﻖ ﺧﻄﺮ ﻣﺤﻘﻖ، ﺑﻄﻞ ﺍﻟﻌﻘﺪ ﻟﻤﺎ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﺟﺮ ﺍﻟﻤﻨﻔﻌﺔ ﻟﻠﻤﻘﺮﺽ
ﺗﺤﻔﺔ ﺍﻟﻤﺤﺘﺎﺝ ﻓﻲ ﺷﺮﺡ ﺍﻟﻤﻨﻬﺎﺝ – (ﺝ 26 /ﺹ 150)
ﻭَﻫِﺒَﺔُ ﺍﻟﺪَّﻳْﻦِ ( ﺍﻟْﻤُﺴْﺘَﻘِﺮِّ ) ﻟِﻠْﻤَﺪِﻳﻦِ ( ، ﺃَﻭْ ﺍﻟﺘَّﺼَﺪُّﻕِ ﺑِﻪِ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ) ﺇﺑْﺮَﺍﺀٌ ( ﻓَﻠَﺎ ﺗَﺤْﺘَﺎﺝُ ﺇﻟَﻰ ﻗَﺒُﻮﻝٍ ﻧَﻈَﺮًﺍ ﻟِﻠْﻤَﻌْﻨَﻰ ) ﻭَ ( ﻫِﺒَﺘُﻪُ ) ﻟِﻐَﻴْﺮِﻩِ ( ﺃَﻱْ : ﺍﻟْﻤَﺪِﻳﻦِ ) ﺑَﺎﻃِﻠَﺔٌ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَﺻَﺢِّ ( ﺑِﻨَﺎﺀً ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎ ﻗَﺪَّﻣَﻪُ ﻣِﻦْ ﺑُﻄْﻠَﺎﻥِ ﺑَﻴْﻊِ ﺍﻟﺪَّﻳْﻦِ ﻟِﻐَﻴْﺮِ ﻣَﻦْ ﻫُﻮَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ، ﺃَﻣَّﺎ ﻋَﻠَﻰ ﻣُﻘَﺎﺑِﻠِﻪِ ﺍﻟْﺄَﺻَﺢُّ ﻛَﻤَﺎ ﻣَﺮَّ ﻓَﺘَﺼِﺢُّ ﻫِﺒَﺘُﻪُ ﺑِﺎﻟْﺄَﻭْﻟَﻰ ﻭَﻛَﺄَﻧَّﻪُ ﻓِﻲ ﺍﻟﺮَّﻭْﺿَﺔِ ﺇﻧَّﻤَﺎ ﺟَﺮَﻯ ﻫُﻨَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﺑُﻄْﻠَﺎﻥِ ﻫِﺒَﺘِﻪِ ﻣَﻊَ ﻣَﺎ ﻗَﺪَّﻣَﻪُ ﺃَﻧَّﻪُ ﻳَﺼِﺢُّ ﺑَﻴْﻌُﻪُ ﺍﺗِّﻜَﺎﻟًﺎ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻌْﺮِﻓَﺔِ ﺿَﻌْﻒِ ﻫَﺬَﺍ ﻣِﻦْ ﺫَﺍﻙَ ﺑِﺎﻟْﺄَﻭْﻟَﻰ ﻛَﻤَﺎ ﺗَﻘَﺮَّﺭَ ﻭَﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﺼِّﺤَّﺔِ ﻗِﻴﻞَ ﻟَﺎ ﺗَﻠْﺰَﻡُ ﺇﻟَّﺎ ﺑِﺎﻟْﻘَﺒْﺾِ ﻭَﻗِﻴﻞَ ﻟَﺎ ﺗَﺘَﻮَﻗَّﻒُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻓَﻌَﻠَﻴْﻪِ ﻗِﻴﻞَ ﺗَﻠْﺰَﻡُ ﺑِﻨَﻔْﺲِ ﺍﻟْﻌَﻘْﺪِ ﻭَﻗِﻴﻞَ ﻟَﺎ ﺑُﺪَّ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟْﻌَﻘْﺪِ ﻣِﻦْ ﺍﻟْﺈِﺫْﻥِ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻘَﺒْﺾِ ﻭَﻳَﻜُﻮﻥُ ﻛَﺎﻟﺘَّﺨْﻠِﻴَﺔِ ﻓِﻴﻤَﺎ ﻟَﺎ ﻳُﻤْﻜِﻦُ ﻧَﻘْﻠُﻪُ ﻭَﺍَﻟَّﺬِﻱ ﻳُﺘَّﺠَﻪُ ﺍﻟْﺄَﻭَّﻝُ ﺃَﺧْﺬًﺍ ﻣِﻦْ ﺍﺷْﺘِﺮَﺍﻃِﻬِﻢْ ﺍﻟْﻘَﺒْﺾَ ﺍﻟْﺤَﻘِﻴﻘِﻲَّ ﻫُﻨَﺎ ﻓَﻠَﺎ ﻳَﻤْﻠِﻜُﻪُ ﺇﻟَّﺎ ﺑَﻌْﺪَ ﻗَﺒْﻀِﻪِ ﺑِﺈِﺫْﻥِ ﺍﻟْﻮَﺍﻫِﺐِ ﻭَﻋَﻠَﻰ ﻣُﻘَﺎﺑِﻠَﻴْﻪِ ﻟِﻠْﻮَﺍﻟِﺪِ ﺍﻟْﻮَﺍﻫِﺐِ ﺍﻟﺮُّﺟُﻮﻉُ ﻓِﻴﻪِ ﺗَﻨْﺰِﻳﻠًﺎ ﻟَﻪُ ﻣَﻨْﺰِﻟَﺔَ ﺍﻟْﻌَﻴْﻦِ ﻭَﻟَﻮْ ﺗَﺒَﺮَّﻉَ ﻣَﻮْﻗُﻮﻑٌ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺑِﺤِﺼَّﺘِﻪِ ﻣِﻦْ ﺍﻟْﺄُﺟْﺮَﺓِ ﻟِﺂﺧَﺮَ ﻟَﻢْ ﻳَﺼِﺢَّ ؛ ﻟِﺄَﻧَّﻬَﺎ ﻗَﺒْﻞَ ﻗَﺒْﻀِﻬَﺎ ﺇﻣَّﺎ ﻏَﻴْﺮُ ﻣَﻤْﻠُﻮﻛَﺔٍ ﻟَﻪُ ﺃَﻭْ ﻣَﺠْﻬُﻮﻟَﺔٌ ﻓَﺈِﻥْ ﻗَﺒَﺾَ ﻫُﻮَ ﺃَﻭْ ﻭَﻛِﻴﻠُﻪُ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻗَﺒْﻞَ ﺍﻟﺘَّﺒَﺮُّﻉِ ﻭَﻋَﺮَﻑَ ﺣِﺼَّﺘَﻪُ ﻣِﻨْﻪُ ﻭَﺭَﺁﻩُ ﻫُﻮَ ﺃَﻭْ ﻭَﻛِﻴﻠُﻪُ ﻭَﺃَﺫِﻥَ ﻟَﻪُ ﻓِﻲ ﻗَﺒْﻀِﻪِ ﻭَﻗَﺒَﻀَﻪُ ﺻَﺢَّ ﻭَﺇِﻟَّﺎ ﻓَﻠَﺎ ﻭَﻟَﺎ ﻳَﺼِﺢُّ ﺇﺫْﻧُﻪُ ﻟِﺠَﺎﺑِﻲ ﺍﻟْﻮَﻗْﻒِ ﻟِﺄَﻧَّﻪُ ﺇﺫَﺍ ﻗَﺒَﻀَﻪُ ﻳُﻌْﻄِﻴﻪِ ﻟِﻠْﻤُﺘَﺒَﺮِّﻉِ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ؛ ﻟِﺄَﻧَّﻪُ ﺗَﻮْﻛِﻴﻞٌ ﻗَﺒْﻞَ ﺍﻟْﻤِﻠْﻚِ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻧَّﻪُ ﻓِﻲ ﻣَﺠْﻬُﻮﻝٍ ﻭَﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺻَﺢَّ ﺗَﺒَﺮُّﻉُ ﺃَﺣَﺪِ ﺍﻟْﻮَﺭَﺛَﺔِ ﺑِﺤِﺼَّﺘِﻪِ ؛ ﻟِﺄَﻥَّ ﻣَﺤَﻠَّﻪُ ﻓِﻲ ﺃَﻋْﻴَﺎﻥٍ ﺭَﺁﻫَﺎ ﻭَﻋَﺮَﻑَ ﺣِﺼَّﺘَﻪُ ﻣِﻨْﻬَﺎ
ﻏﺎﻳﺔ ﺗﻠﺨﻴﺺ ﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﺹ129
ﻣﺴﺄﻟﺔ: ﺍﻋﻄﺎﺀ ﺍﻟﺮﺑﻮﻱ ﻋﻨﺪ ﺍﻻﻗﺘﺮﺍﺽ ﻭﻟﻮ ﻟﻠﻀﺮﻭﺭﺓ ﺑﺤﻴﺚ ﺍﻧﻪ ﻟﻮ ﻟﻢ ﻳﻌﻂ ﻟﻢ ﻳﻘﺮﺿﻪ ﻻ ﻳﺪﻓﻊ ﺍﻻﺛﻢ ﺍﺫ ﻟﻪ ﻃﺮﻳﻖ ﺍﻟﻰ ﺣﻞ ﺍﻋﻄﺎﺀ ﺍﻟﺰﺍﺋﺪ ﺑﻄﺮﻳﻖ ﺍﻟﻨﺬﺭ ﺍﻭ ﻏﻴﺮﻩ ﻣﻦ ﺍﻻﺳﺒﺎﺏ ﺍﻟﻤﻤﻠﻜﺔ ﻻ ﺳﻴﻤﺎ ﺍﺫﺍ ﻗﻠﻨﺎ ﺑﺎﻟﻤﻌﺘﻤﺪ ﺍﻥ ﺍﻟﻨﺬﺭ ﻻ ﻳﺤﺘﺎﺝ ﺍﻟﻰ ﺍﻟﻘﺒﻮﻝ ﻟﻔﻈﺎ.
ﻓﺘﺢ ﺍﻟﻤﻌﻴﻦ –(ﺝ 3 /ﺹ 26 )
ﻗﺎﻝ ﺷﻴﺨﻨﺎ ﺍﺑﻦ ﺯﻳﺎﺩ: ﻻ ﻳﻨﺪﻓﻊ ﺇﺛﻢ ﺇﻋﻄﺎﺀ ﺍﻟﺮﺑﺎ ﻋﻨﺪ ﺍﻻﻗﺘﺮﺍﺽ ﻟﻠﻀﺮﻭﺭﺓ، ﺑﺤﻴﺚ ﺃﻧﻪ ﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻌﻂ ﺍﻟﺮﺑﺎ ﻻ ﻳﺤﺼﻞ ﻟﻪ ﺍﻟﻘﺮﺽ.ﺇﺫ ﻟﻪ ﻃﺮﻳﻖ ﺇﻟﻰ ﺇﻋﻄﺎﺀ ﺍﻟﺰﺍﺋﺪ ﺑﻄﺮﻳﻖ ﺍﻟﻨﺬﺭ ﺃﻭﺍﻟﺘﻤﻠﻴﻚ، ﻻﺳﻴﻤﺎ ﺇﺫﺍ ﻗﻠﻨﺎ ﺍﻟﻨﺬﺭ ﻻ ﻳﺤﺘﺎﺝ ﺇﻟﻰ ﻗﺒﻮﻝ ﻟﻔﻈﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﻌﺘﻤﺪ. ﻭﻗﺎﻝ ﺷﻴﺨﻨﺎ: ﻳﻨﺪﻓﻊ ﺍﻻﺛﻢ ﻟﻠﻀﺮﻭﺭﺓ
ﻓﺘﺢ ﺍﻟﻤﻌﻴﻦ –(ﺝ 3 /ﺹ 7)
ﻭﺫﻟﻚ ﻟﺘﺘﻢ ﺍﻟﺼﻴﻐﺔ، ﺍﻟﺪﺍﻝ ﻋﻠﻰ ﺍﺷﺘﺮﺍﻃﻬﺎ ﻗﻮﻟﻪ )ﺹ:( ﺇﻧﻤﺎ ﺍﻟﺒﻴﻊ ﻋﻦ ﺗﺮﺍﺽ، ﻭﺍﻟﺮﺿﺎ ﺧﻔﻲ، ﻓﺎﻋﺘﺒﺮ ﻣﺎ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻠﻔﻆ، ﻓﻼ ﻳﻨﻌﻘﺪ ﺑﺎﻟﻤﻌﺎﻃﺎﺓ، ﻟﻜﻦ ﺍﺧﺘﻴﺮ ﺍﻻﻧﻌﻘﺎﺩ ﺑﻜﻞ ﻣﺎ ﻳﺘﻌﺎﺭﻑ ﺍﻟﺒﻴﻊ ﺑﻬﺎ ﻓﻴﻪ: ﻛﺎﻟﺨﺒﺰ، ﻭﺍﻟﻠﺤﻢ، ﺩﻭﻥ ﻧﺤﻮ ﺍﻟﺪﻭﺍﺏ، ﻭﺍﻻﺭﺍﺿﻲ. ﻓﻌﻠﻰ ﺍﻻﻭﻝ: ﺍﻟﻤﻘﺒﻮﺽ ﺑﻬﺎ ﻛﺎﻟﻤﻘﺒﻮﺽ ﺑﺎﻟﺒﻴﻊ ﺍﻟﻔﺎﺳﺪ، ﺃﻱ ﻓﻲ ﺃﺣﻜﺎﻡ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ.ﺃﻣﺎ ﻓﻲ ﺍﻵﺧﺮﺓ ﻓﻼ ﻣﻄﺎﻟﺒﺔ ﺑﻬﺎ. ﻭﻳﺠﺮﻱ ﺧﻼﻓﻬﺎ ﻓﻲ ﺳﺎﺋﺮ ﺍﻟﻌﻘﻮﺩ
ﺗﺤﻔﺔ ﺍﻟﻤﺤﺘﺎﺝ ﻓﻲ ﺷﺮﺡ ﺍﻟﻤﻨﻬﺎﺝ – (ﺝ /41 ﺹ 275 )
) ﻓَﺮْﻉٌ ( ﻳُﺴَﻦُّ ﻟِﻠْﺈِﻧْﺴَﺎﻥِ ﺃَﻥْ ﻳَﺘَﺤَﺮَّﻯ ﻓِﻲ ﻣُﺆْﻧَﺔِ ﻧَﻔْﺴِﻪِ ﻭَﻣُﻤَﻮِّﻧِﻪِ ﻣَﺎ ﺃَﻣْﻜَﻨَﻪُ ﻓَﺈِﻥْ ﻋَﺠَﺰَ ﻓَﻔِﻲ ﻣُﺆْﻧَﺔِ ﻧَﻔْﺴِﻪِ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﺤْﺮُﻡُ ﻣُﻌَﺎﻣَﻠَﺔُ ﻣَﻦْ ﺃَﻛْﺜَﺮُ ﻣَﺎﻟِﻪِ ﺣَﺮَﺍﻡٌ ﻭَﻟَﺎ ﺍﻟْﺄَﻛْﻞُ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﻛَﻤَﺎ ﺻَﺤَّﺤَﻪُ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤَﺠْﻤُﻮﻉِ ﻭَﺃَﻧْﻜَﺮَ ﻗَﻮْﻝَ ﺍﻟْﻐَﺰَﺍﻟِﻲِّ ﺑِﺎﻟْﺤُﺮْﻣَﺔِ ﻣَﻊَ ﺃَﻧَّﻪُ ﺗَﺒِﻌَﻪُ ﻓِﻲ ﺷَﺮْﺡِ ﻣُﺴْﻠِﻢٍ ) ﻗَﻮْﻟُﻪُ : ﻳُﺴَﻦُّ ﻟِﻠْﺈِﻧْﺴَﺎﻥِ ﺇﻟَﺦْ ( ﻋِﺒَﺎﺭَﺓُ ﺍﻟْﻤُﻐْﻨِﻲ ﻗَﺎﻝَ ﻓِﻲ ﺍﻟﺬَّﺧَﺎﺋِﺮِ ﺇﺫَﺍ ﻛَﺎﻥَ ﻓِﻲ ﻳَﺪِﻩِ ﺣَﻠَﺎﻝٌ ﻭَﺣَﺮَﺍﻡٌ ﺃَﻭْ ﺷُﺒْﻬَﺔٌ ﻭَﺍﻟْﻜُﻞُّ ﻟَﺎ ﻳَﻔْﻀُﻞُ ﻋَﻦْ ﺣَﺎﺟَﺘِﻪِ ﻗَﺎﻝَ ﺑَﻌْﺾُ ﺍﻟْﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ﻳَﺨُﺺُّ ﻧَﻔْﺴَﻪُ ﺑِﺎﻟْﺤَﻠَﺎﻝِ ﻓَﺈِﻥَّ ﺍﻟﺘَّﺒِﻌَﺔَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻓِﻲ ﻧَﻔْﺴِﻪِ ﺁﻛَﺪُ ؛ ﻟِﺄَﻧَّﻪُ ﻳَﻌْﻠَﻤُﻪُ ﻭَﺍﻟْﻌِﻴَﺎﻝُ ﻟَﺎ ﺗَﻌْﻠَﻤُﻪُ ﺛُﻢَّ ﻗَﺎﻝَ ﻭَﺍَﻟَّﺬِﻱ ﻳَﺠِﻲﺀُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤَﺬْﻫَﺐِ ، ﺃَﻧَّﻪُ ﻭَﺃَﻫْﻠُﻪُ ﺳَﻮَﺍﺀٌ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻘُﻮﺕِ ﻭَﺍﻟْﻤَﻠْﺒَﺲِ ﺩُﻭﻥَ ﺳَﺎﺋِﺮِ ﺍﻟْﻤُﺆَﻥِ ﻣِﻦْ ﺃُﺟْﺮَﺓِ ﺣَﻤَّﺎﻡٍ ﻭَﻗِﺼَﺎﺭَﺓِ ﺛَﻮْﺏٍ ﻭَﻋِﻤَﺎﺭَﺓِ ﻣَﻨْﺰِﻝٍ ﻭَﻓَﺤْﻢِ ﺗَﻨُّﻮﺭٍ ﻭَﺷِﺮَﺍﺀِ ﺣَﻄَﺐٍ ﻭَﺩُﻫْﻦِ ﺳِﺮَﺍﺝٍ ﻭَﻏَﻴْﺮِﻫَﺎ ﻣِﻦْ ﺍﻟْﻤُﺆَﻥِ ﺍ ﻫـ ) . ﻗَﻮْﻟُﻪُ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﺤْﺮُﻡُ ﺇﻟَﺦْ ( ﻋِﺒَﺎﺭَﺓُ ﺍﻟْﻤُﻐْﻨِﻲ ﻭَﻟَﻮْ ﻏَﻠَﺐَ ﺍﻟْﺤَﺮَﺍﻡُ ﻓِﻲ ﻳَﺪِ ﺍﻟﺴُّﻠْﻄَﺎﻥِ ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟْﻐَﺰَﺍﻟِﻲُّ ﺣَﺮُﻣَﺖْ ﻋَﻄِﻴَّﺘُﻪُ ﻭَﺃَﻧْﻜَﺮَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤَﺠْﻤُﻮﻉِ ﻭَﻗَﺎﻝَ ﻣَﺸْﻬُﻮﺭُ ﺍﻟْﻤَﺬْﻫَﺐِ ﺍﻟْﻜَﺮَﺍﻫَﺔُ ﻟَﺎ ﺍﻟﺘَّﺤْﺮِﻳﻢُ ﻣَﻊَ ، ﺃَﻧَّﻪُ ﻓِﻲ ﺷَﺮْﺡِ ﻣُﺴْﻠِﻢٍ ﺟَﺮَﻯ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎ ﻗَﺎﻟَﻪُ ﺍﻟْﻐَﺰَﺍﻟِﻲُّ ﺍ ﻫـ
ﺇﻋﺎﻧﺔ ﺍﻟﻄﺎﻟﺒﻴﻦ –(ﺝ /2 ﺹ241 )
ﻓﺎﺋﺪﺓ( ﻗﺎﻝ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺠﻤﻮﻉ: ﻳﻜﺮﻩ ﺍﻻﺧﺬ ﻣﻤﻦ ﺑﻴﺪﻩ ﺣﻼﻝ ﻭﺣﺮﺍﻡ – ﻛﺎﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﺍﻟﺠﺎﺋﺰ. ﻭﺗﺨﺘﻠﻒ ﺍﻟﻜﺮﺍﻫﺔ ﺑﻘﻠﺔ ﺍﻟﺸﺒﻬﺔ ﻭﻛﺜﺮﺗﻬﺎ، ﻭﻻ ﻳﺤﺮﻡ ﺇﻻ ﺇﻥ ﺗﻴﻘﻦ ﺃﻥ ﻫﺬﺍ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﺮﺍﻡ. ﻭﻗﻮﻝ ﺍﻟﻐﺰﺍﻟﻲ: ﻳﺤﺮﻡ ﺍﻻﺧﺬ ﻣﻤﻦ ﺃﻛﺜﺮ ﻣﺎﻟﻪ ﺣﺮﺍﻡ ﻭﻛﺬﺍ ﻣﻌﺎﻣﻠﺘﻪ: ﺷﺎﺫ. )ﻗﻮﻟﻪ: ﻗﺎﻝ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺠﻤﻮﻉ ﺇﻟﺦ( ﻣﺜﻠﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﺘﺤﻔﺔ ﻭﺍﻟﻨﻬﺎﻳﺔ) .ﻗﻮﻟﻪ: ﻳﻜﺮﻩ ﺍﻻﺧﺬ( ﺃﻱ ﺃﺧﺬ ﺍﻟﺼﺪﻗﺔ.ﻭﻣﺜﻠﻪ ﺍﻟﻤﻌﺎﻣﻠﺔ ﺑﺒﻴﻊ ﺃﻭ ﺷﺮﺍﺀ. )ﻗﻮﻟﻪ: ﻛﺎﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﺍﻟﺠﺎﺋﺮ( ﺃﻱ ﺍﻟﻈﺎﻟﻢ.ﻭﻣﺜﻠﻪ ﻣﻦ ﺃﻛﺜﺮ ﻣﺎﻟﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﺮﺑﺎ) .ﻗﻮﻟﻪ: ﻭﺗﺨﺘﻠﻒ ﺍﻟﻜﺮﺍﻫﺔ ﺑﻘﻠﺔ ﺍﻟﺸﺒﻬﺔ ﻭﻛﺜﺮﺗﻬﺎ( ﺃﻱ ﻓﺈﻥ ﻛﺎﻧﺖ ﺍﻟﺸﺒﻬﺔ ﻓﻲ ﻣﺎﻟﻪ ﺃﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﻋﺪﻣﻬﺎ – ﺑﺄﻥ ﻛﺎﻥ ﺃﻛﺜﺮ ﺃﻣﻮﺍﻟﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﺮﺍﻡ – ﻛﺎﻧﺖ ﺍﻟﻜﺮﺍﻫﺔ ﺃﺷﺪ، ﻭﺇﻻ ﻓﻬﻲ ﻛﺮﺍﻫﺔ ﻏﻴﺮ ﺷﺪﻳﺪﺓ) .ﻗﻮﻟﻪ: ﻭﻻ ﻳﺤﺮﻡ( ﺃﻱ ﺍﻵﺧﺬ ﻭﻗﻮﻟﻪ ﺇﻻ ﺃﻥ ﺇﻟﺦ. ﺃﻱ ﻓﺈﻧﻪ ﻳﺤﺮﻡ ﻭﻗﻮﻟﻪ ﺇﻥ ﻫﺬﺍ ﺃﻱ ﺍﻟﻤﺄﺧﻮﺫ ﻭﻗﻮﻟﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﺮﺍﻡ ﺃﻱ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻤﻜﻦ ﻣﻌﺮﻓﺔ ﺃﺻﺤﺎﺑﻪ ﻭﻓﻲ ﺍﻟﺘﺤﻔﺔ: ﻭﻳﺠﻮﺯ ﺍﻻﺧﺬ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﺮﺍﻡ ﺑﻘﺼﺪ ﺭﺩﻩ ﻋﻠﻰ ﻣﺎﻟﻜﻪ، ﺇﻻ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻣﻔﺘﻴﺎ ﺃﻭ ﺣﺎﻛﻤﺎ ﺃﻭ ﺷﺎﻫﺪﺍ ﻓﻴﻠﺰﻣﻪ ﺍﻟﺘﺼﺮﻳﺢ ﺑﺄﻧﻪ ﺇﻧﻤﺎ ﻳﺄﺧﺬﻩ ﻟﻠﺮﺩ ﻋﻠﻰ ﻣﺎﻟﻜﻪ، ﻟﺌﻼ ﻳﺴﻮﺀ ﺍﻋﺘﻘﺎﺩ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻓﻲ ﺻﺪﻗﺔ ﻭﺩﻳﻨﻪ ﻓﻴﺮﺩﻭﻥ ﻓﺘﻴﺎﻩ ﻭﺣﻜﻤﻪ ﻭﺷﻬﺎﺩﺗﻪ. ﺍﻩ) .ﻗﻮﻟﻪ: ﻭﻗﻮﻝ ﺍﻟﻐﺰﺍﻟﻲ( ﻣﺒﺘﺪﺃ ﺧﺒﺮﻩ ﺷﺎﺫ) .ﻭﻗﻮﻟﻪ: ﻳﺤﺮﻡ ﺇﻟﺦ( ﻣﻘﻮﻝ ﺍﻟﻘﻮﻝ. ﻗﺎﻝ ﻓﻲ ﺍﻟﺘﺤﻔﺔ ﺑﻌﺪﻩ: ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ – ﺃﻱ ﺍﻟﻐﺰﺍﻟﻲ ﻓﻲ ﺑﺴﻴﻄﻪ – ﺟﺮﻯ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺬﻫﺐ، ﻓﺠﻌﻞ ﺍﻟﻮﺭﻉ ﺍﺟﺘﻨﺎﺏ ﻣﻌﺎﻣﻠﺔ ﻣﻦ ﺃﻛﺜﺮ ﻣﺎﻟﻪ ﺭﺑﺎ.ﻗﺎﻝ: ﻭﺇﻧﻤﺎ ﻟﻢ ﻳﺤﺮﻡ – ﻭﺇﻥ ﻏﻠﺐ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻈﻦ ﺃﻧﻪ ﺭﺑﺎ – ﻻﻥ ﺍﻻﺻﻞ ﺍﻟﻤﻌﺘﻤﺪ ﻓﻲ ﺍﻻﻣﻼﻙ ﺍﻟﻴﺪ، ﻭﻟﻢ ﻳﺜﺒﺖ ﻟﻨﺎ ﻓﻴﻪ ﺃﺻﻞ ﺁﺧﺮ ﻳﻌﺎﺭﺿﻪ، ﻓﺎﺳﺘﺼﺤﺐ ﻭﻟﻢ ﻳﺒﺎﻝ ﺑﻐﻠﺒﺔ ﺍﻟﻈﻦ. ﺍﻩ
ﺑﻐﻴﺔ ﺍﻟﻤﺴﺘﺮﺷﺪﻳﻦ 126
ﻣﺎ ﻳﺤﺮﻡ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻌﺎﻣﻼﺕ ﻭﻣﺎ ﻳﻜﺮﻩ )ﻣﺴﺄﻟﺔ: ﻱ:( ﻛﻞ ﻣﻌﺎﻣﻠﺔ ﻛﺒﻴﻊ ﻭﻫﺒﺔ ﻭﻧﺬﺭ ﻭﺻﺪﻗﺔ ﻟﺸﻲﺀ ﻳﺴﺘﻌﻤﻞ ﻓﻲ ﻣﺒﺎﺡ ﻭﻏﻴﺮﻩ، ﻓﺈﻥ ﻋﻠﻢ ﺃﻭ ﻇﻦّ ﺃﻥ ﺁﺧﺬﻩ ﻳﺴﺘﻌﻤﻠﻪ ﻓﻲ ﻣﺒﺎﺡ ﻛﺄﺧﺬ ﺍﻟﺤﺮﻳﺮ ﻟﻤﻦ ﻳﺤﻞ ﻟﻪ، ﻭﺍﻟﻌﻨﺐ ﻟﻸﻛﻞ، ﻭﺍﻟﻌﺒﺪ ﻟﻠﺨﺪﻣﺔ، ﻭﺍﻟﺴﻼﺡ ﻟﻠﺠﻬﺎﺩ ﻭﺍﻟﺬﺏ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﻔﺲ، ﻭﺍﻷﻓﻴﻮﻥ ﻭﺍﻟﺤﺸﻴﺸﺔ ﻟﻠﺪﻭﺍﺀ ﻭﺍﻟﺮﻓﻖ ﺣﻠﺖ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻤﻌﺎﻣﻠﺔ ﺑﻼ ﻛﺮﺍﻫﺔ، ﻭﺇﻥ ﻇﻦ ﺃﻧﻪ ﻳﺴﺘﻌﻤﻠﻪ ﻓﻲ ﺣﺮﺍﻡ ﻛﺎﻟﺤﺮﻳﺮ ﻟﻠﺒﺎﻟﻎ، ﻭﻧﺤﻮ ﺍﻟﻌﻨﺐ ﻟﻠﺴﻜﺮ، ﻭﺍﻟﺮﻗﻴﻖ ﻟﻠﻔﺎﺣﺸﺔ، ﻭﺍﻟﺴﻼﺡ ﻟﻘﻄﻊ ﺍﻟﻄﺮﻳﻖ ﻭﺍﻟﻈﻠﻢ، ﻭﺍﻷﻓﻴﻮﻥ ﻭﺍﻟﺤﺸﻴﺸﺔ ﻭﺟﻮﺯﺓ ﺍﻟﻄﻴﺐ ﻻﺳﺘﻌﻤﺎﻝ ﺍﻟﻤﺨﺬِّﺭ ﺣﺮﻣﺖ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻤﻌﺎﻣﻠﺔ، ﻭﺇﻥ ﺷﻚّ ﻭﻻ ﻗﺮﻳﻨﺔ ﻛﺮﻫﺖ، ﻭﺗﺼﺢّ ﺍﻟﻤﻌﺎﻣﻠﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﺜﻼﺙ، ﻟﻜﻦ ﺍﻟﻤﺄﺧﻮﺫ ﻓﻲ ﻣﺴﺄﻟﺔ ﺍﻟﺤﺮﻣﺔ ﺷﺒﻬﺘﻪ ﻗﻮﻳﺔ، ﻭﻓﻲ ﻣﺴﺄﻟﺔ ﺍﻟﻜﺮﺍﻫﺔ ﺃﺧﻒ. )ﻣﺴﺄﻟﺔ: ﺏ:( ﻳﺤﺮﻡ ﺑﻴﻊ ﺍﻟﺘﻨﺒﺎﻙ ﻣﻤﻦ ﻳﺸﺮﺑﻪ ﺃﻭ ﻳﺴﻘﻴﻪ ﻏﻴﺮﻩ، ﻭﻳﺼﺢ ﻷﻧﻪ ﻣﺎﻝ ﻛﺒﻴﻊ ﺍﻟﺴﻴﻒ، ﻭﻧﺤﻮ ﺍﻟﺮﺻﺎﺹ ﻭﺍﻟﺒﺎﺭﻭﺩ ﻣﻦ ﻗﺎﻃﻊ ﺍﻟﻄﺮﻳﻖ، ﻭﺍﻷﻣﺮﺩ ﻟﻤﻦ ﻋﺮﻑ ﺑﺎﻟﻔﺠﻮﺭ، ﻭﺍﻟﻌﻨﺐ ﻣﻤﻦ ﻳﺘﺨﺬﻩ ﺧﻤﺮﺍً ﻭﻟﻮ ﻇﻨﺎً، ﻓﻴﻨﺒﻐﻲ ﻟﻜﻞ ﻣﺘﺪﻳﻦ ﺃﻥ ﻳﺠﺘﻨﺐ ﺍﻻﺗﺠﺎﺭ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ، ﻭﻳﻜﺮﻩ ﺛﻤﻨﻪ ﻛﺮﺍﻫﺔ ﺷﺪﻳﺪﺓ. ﺃﻣﺎ ﺑﻴﻊ ﺁﻟﺔ ﺍﻟﺤﺮﺏ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﺮﺑﻲ ﻓﺒﺎﻃﻞ، ﻭﻳﺠﻮﺯ ﺧﻠﻂ ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ ﺍﻟﺮﺩﻱﺀ ﺑﺎﻟﻄﻌﺎﻡ ﺍﻟﺠﻴﺪ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻇﺎﻫﺮﺍً ﻳﻌﻠﻤﻪ ﺍﻟﻤﺸﺘﺮﻱ، ﻭﻟﻴﺲ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﺍﻟﻐﺶّ ﺍﻟﻤﺤﺮﻡ، ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺍﻷﻭﻟﻰ ﺍﺟﺘﻨﺎﺑﻪ، ﺇﺫ ﺿﺎﺑﻂ ﺍﻟﻐﺶّ ﺃﻥ ﻳﻌﻠﻢ ﺫﻭ ﺍﻟﺴﻠﻌﺔ ﻓﻴﻬﺎ ﺷﻴﺌﺎً ﻟﻮ ﺍﻃﻠﻊ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﺮﻳﺪﻫﺎ ﻟﻢ ﻳﺄﺧﺬﻫﺎ ﺑﺬﻟﻚ ﺍﻟﻤﻘﺎﺑﻞ ﻓﻴﺠﺐ ﺇﻋﻼﻣﻪ ﺣﻴﻨﺌﺬ
MUJAWWIB: Al Murtadho
LINK DISKUSI:
https://www.facebook.com/groups/230254130404633?view=permalink&id=475446549218722

132. SHOLAT: HUKUM SHOLAT FARDHU BERMA'MUM PADA SHOLAT SUNNAH

PERTANYAAN:
Asslamu alikum
kwan" ustd cmua, aku cmn mnta tlog, bolehkah orang yg shlat fardu brma'mum pda org yg shlat sunnah,,,?

SAIL: EL-maHdi ALy AL Hasaeny

JAWABAN:
Wa Alaikum Salam. Wr. Wb.

Boleh/sah, namun makruh dan tetap mendapatkan fadhilah sholat berjama'ah.

REFRENSI:

ﺍﻟﻔﻘﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺬﺍﻫﺐ ﺍﻻﺭﺑﻌﺔ (ﺝ /1 ﺹ
(359
ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ ﻗﺎﻟﻮﺍ: ﻳﺼﺢ ﺍﻗﺘﺪﺍ ﺍﻟﻤﻔﺘﺮﺽ ﺑﺎﻟﻤﺘﻨﻔﻞ ﻣﻊ ﺍﻟﻜﺮﻫﺔ ﺇﻫـ

ﻛﺎشﻔﺔ ﺍﻟﺴﺠﺎ ( ﺹ 86-87)
(ﻭ( ﺗﺎﺳﻌﻬﺎ (ﺍﻥ ﻳﺘﻮﺍﻓﻖ ﻧﻈﻢ ﺻﻼﺗﻬﻤﺎ( ﺍﻱ ﻧﻬﺠﻬﺎ ﺍﻟﻮﺍﺿﺢ ﻓﻰ ﺍﻻﻓﻌﺎﻝ ﺍﻟﻈﺎﻫﺮﺓ ﻭﺍﻥ ﺍﺧﺘﻠﻔﺎ ﻋﺪﺩﺍ ﻓﻼ ﻳﺼﺢ ﺍﻻﻗﺘﺪﺍﺀ ﻣﻊ ﺍﺧﺘﻼﻓﻪ ﻛﻤﻜﺘﻮﺑﺔ ﺧﻠﻒ ﻛﺴﻮﻑ ﻭﺑﺎﻟﻌﻜﺲ ﻟﺘﻌﺬﺭ ﺍﻟﻤﺘﺎﺑﻌﺔ ﻭﻻ ﻳﻀﺮ ﺍﺧﺘﻼﻑ ﻧﻴﺔ ﺍﻻﻣﺎﻡ ﻭﺍﻟﻤﺄ ﻣﻮﻡ ﻟﻌﺪﻡ ﻓﺤﺶ ﺍﻟﻤﺨﺎﻟﻔﺔ ﻓﻴﻬﻤﺎ ﻓﻴﺼﺢ ﺍﻗﺘﺪﺍﺀ ﺍﻟﻤﻔﺘﺮﺽ ﺑﺎﻟﻤﺘﻨﻔﻞ ﻭﺍﻟﻤﺆﺩﻯ ﺑﺎﻟﻘﺎﺿﻰ ﻭﻓﻰ ﻃﻮﻳﻠﺔ ﺑﻘﺼﻴﺮﺓ ﻛﻈﻬﺮ ﺑﺼﺒﺢ ﻭﺑﺎﻟﻌﻜﻮﺱ ﻟﻜﻨﻪ ﻣﻜﺮﻭﻩ ﻭﻣﻊ ﺫﻟﻚ ﺗﺤﺼﻞ ﻓﻀﻴﻠﺔ ﺍﻟﺠﻤﺎﻋﺔ ﺇﻫـ

MUJAWWIB: Ibnur Rojiy dan Muqit Ismunoer

LINK DISKUSI:
https://www.facebook.com/groups/230254130404633?view=permalink&id=476643025765741